Senin, 21 Januari 2008

KRITIK THOMAS AQUINAS ATAS (IMPLEMENTASI) OTONOMI KHUSUS DI TANAH PAPUA

Pembuka

Otonomi Khusus[1] (selanjutnya Otsus) Papua yang tertuang dalam Undang-undang (UU) No 21/2001, merupakan tanggapan yang ditawarakan Pemerintah Indonesia terhadap munculnya berbagai unjuk rasa sebagian masyarakat Papua menuntut kemerdekaan yang juga ditandai dengan pengibaran bendera Bintang Kejora di kota-kota kabupaten pada tahun 1998[2]. Bagi pemerintah Indonesia dan juga sebagian masyarakat Papua, Otsus diharapkan menjadi sarana dalam menjamin kesejahteraan dan keadilan rakyatnya. Akan tetapi setelah tiga tahun diberlakukannya Otsus, masyarakat Papua merasa bahwa mereka belumlah menikmati kesejahteraan dan keadilan. Puncak ketidakpuasan masyarakat Papua, yang dikoordinir oleh Dewan Adat Papua (DAP), diungkapkan dengan mengembalikan -secara simbolis- UU Otsus Papua kepada Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) melalui aksi damai yang dihadiri tidak kurang 10.000 massa pada tanggal 12 Agustus 2005 lalu[3].
Dalam kerangka analisis DAP, implementasi UU Otsus belum atau tidak mencapai tujuan sebenarnya, yakni kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan itu, “Thomas Aquinas merumuskan bahwa tujuan dari suatu hukum atau undang-undang tidak lain daripada kesejahteraan umum. Rakyat dalam suatu negara atau suatu daerah, haruslah menikmati kesejahteraan umum itu. Pemerintah yang tidak menjamin rakyatnya menikmati kesejahteraan umum adalah pemerintah yang mengkhianati mandat yang diembannya dan hal itu bertentangan dengan dirinya sendiri. Sebab pemerintah haruslah melaksanakan roda jalannya suatu negara demi kesejahteraan umum antara lain melalui hukum-hukumnya yang adil dan bijaksana. Kesejahteraan umum selain merupakan tujuan adanya suatu hukum atau undang-undang, juga merupakan suatu prasyarat adanya masyarakat atau negara yang memperhatikan rakyatnya. Kesejahteraan umum itu meliputi antara lain keadilan, perdamaian, ketenteraman hidup, keamanan dan jaminan bagi warganya”[4].
Menurut DAP, pemerintah Indonesia belumlah sungguh-sungguh mengimplementasikan Otsus secara konsekwen. Ada tiga fakta yang dikemukakan oleh DAP, yakni:
Pertama, di Tanah Papua ada hukum tanpa kepastian hukum. Sejumlah hukum dan peraturan yang dihasilkan oleh Pemerintah Indonesia baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah [seperti UU Otsus, Inpres No. 1/2003 tentang pemekaran, Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP), Peraturan Daerah Provinsi tentang MRP] dinilai sebagai media untuk memicu konflik rakyat.
Kedua, MRP sebagai representasi kultural yang menjadi jiwa dan semangat Otsus bagi Provinsi Papua, terlalu lama ditunda dan akan dibentuk berdasarkan PP No. 54 tahun 2004, dinilai tidak merepsentasikan Masyarakat Adat Papua yang terdiri dari 253 suku bangsa, dan dari 253 suku itu hanya diwakili oleh 14 orang.
Ketiga, masih banyak terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua meskipun Otsus sudah diberlakukan. Hal itu rupanya menjadi indikasi bahwa tatanan hukum dan aparatur pemerintah belum memiliki kewenangan dalam menata dan mengawasi kehadiran serta anggaran operasi militer di Tanah Papua. Di samping itu DAP juga menilai bahwa belum ada indikator-indikator yang jelas akibat diberlakukannya Otsus Papua, seperti: terjadinya peningkatan kesejahteraan rakyat Papua secara signifikan.[5]
Persoalan tersebut tentu saja menimbulkan pertanyaan, ada apa di balik semuanya itu? Mengapa UU Otsus belum atau tidak dapat diterapkan dengan semestinya sehingga mencapai tujuan yang sebenarnya, yakni kesejahteraan rakyat secara umum seperti yang dipikirkan oleh Thomas Aquinas? Hal inilah yang menjadi pokok permasalahan yang digumuli penulis dalam tulisan ini. Agar permasalahan ini tidak melebar luas, maka penulis hanya menyoroti fakta pertama yang dikemukakan oleh DAP, yakni adanya hukum tanpa kepastian hukum. Persoalan ini diteropong dari kerangka berpikir Thomas Aquinas yang mencetuskan hukum abadi yang menjadi dasar hukum kodrat dan berkait-erat dengan hukum positif karena sepantasnyalah hukum kodrat menjadi syarat legitimasi keberlakuan hukum positif. Pemikiran Thomas Aquinas ini, pada dasarnya merupakan kritik atas (implementasi) Otsus Papua yang tidak konsekuen. Dengan begitu tulisan ini dapat dijadikan acuan untuk menilai (implementasi) UU Otsus dalam menggapai maksud utama dari suatu undang-undang.
Demi terkuaknya kritik Thomas Aquinas atas implementasi UU Otsus, maka tulisan ini terdiri dari empat bagian pokok, yakni: pertama-tama diuraikanlah realitas pertentangan UU Otsus dengan UU Pemekaran. Dalam mengungkapkan realitas pertentangan ini, diuraikan secara sekilas tentang UU Otsus dan UU Pemekaran. Kedua, dikemukakanlah pemikiran Thomas Aquinas berkaitan dengan hukum. Selanjutnya pokok pemikiran Thomas ini pada dasarnya menyatakan secara tegas kritiknya atas Inpres No. 1/2003 dan UU No. 45/1999 tentang pemekaran Provinsi Papua. Itulah yang diperlihatkan pada bagian ketiga. Akhirnya bagian keempat, merupakan suatu kesimpulan bernada reflektif dari penulis berdasar sudut pandang “keselamatan”.


I. UU Otsus versus UU Pemekaran

A. Sekilas Tentang UU Otsus

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya UU No. 21/2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua merupakan pemberian kewenangan yang lebih luas kepada Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia[6]. Ada tiga isi mendasar yang terungkap dari UU No. 21/2001 tentang Otsus[7] tersebut, yakni:
1) Pengaturan kewenangan antara pemerintah pusat dengan Provinsi Papua, serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan.
2) Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dasar penduduk asli di Papua serta pemberdayaan secara strategis dan mendasar.
3) Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan berciri:
ä Partisipasi rakyat asli Papua yang sebesar-besarnya dalam perencanaan, pengawasan dan pelaksanaan dalam penyelanggaraan pemerintah.
ä Pelaksanaan pembangunan yang sebesarnya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua.
ä Pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat provinsi.
Dari hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Otsus di atas, tampak bahwa pemberian status Otsus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran bagi orang Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan provinsi lain di Indonesia.[8]
Namun tujuan Otsus di atas tidak dapat digapai, karena status Otsus yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia kepada rakyat di Provinsi Papua dinilai sebagai “otonomi setengah hati”[9]. Ketiga fakta [-yakni (1) masih banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua, (2) belum disahkannya MRP sebagai representasi kultural yang menjadi jiwa dan semangat Otsus bagi Provinsi Papua, (3) munculnya Inpres No. 1/2003 tentang pemekaran secara tiba-tiba[10]-] yang dikemukakan DAP tatkala mengembalikan UU Otsus secara simbolis kepada DPRP pada tanggal 12 Agustus 2005 lalu, merupakan bukti nyata pemerintah Indonesia memberikan “otonomi setengah hati”.


B. Seputar UU Pemekaran

1. Selayang Pandang Historisitas Munculnya UU Pemekaran

Pada tahun 1998, ratusan mahasiswa Papua dari Jawa dan Bali serta Ujung Pandang berhasil menduduki kantor perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jakarta. Demikian pula wakil-wakil Papua Barat, utusan dari setiap Kabupaten sebanyak 100 orang yang dikenal dengan sebutan tim 100, secara resmi diterima oleh Presiden B.J. Habibie di Istana Negara pada tanggal 26 Februari 1999. Pada pertemuan tersebut, tokoh masyarakat lewat ketua Tim 100, Thom Beanal, berkesempatan membacakan pernyataan politik rakyat Papua kepada Presiden Habibie. Salah satu dari isi pernyataan tersebut ialah bahwa rakyat Papua menghendaki untuk keluar dari Negara Republik Indonesia dan membentuk sebuah negara yang berdaulat penuh.
Pada tanggal 4 Oktober 1999 Presiden Habibie menandatangi UU No. 45/1999 untuk memberikan dasar hukum bagi Pemerintah Provinsi Irian Jaya menjadi tiga Provinsi yaitu Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Timur. Presiden RI juga mengeluarkan SK yang menetapkan dua Gubernur untuk Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah masing-masing Abraham Oktavianus Atururi dan Herman Monim, yang sebelumnya menjabat sebagai wakil-wakil Gubernur Irian Jaya. Keputusan diberlakukannya UU No. 45/1999 sebagai wujud dari respon Pemerintah RI atas jawaban dari hasil renungan yang disampaikan oleh Presiden Habibie kepada tim 100 di Istana Negara.
Gelombang aspirasi sebagian masyarakat Papua baik yang ada di Papua maupun yang ada di luar Papua untuk menolak pemekaran pun bergejolak. Akhirnya melalui Sidang Paripurna dengan keputusan DPRD Provinsi Papua No. 11/1999, secara resmi memutuskan Pemekaran Propinsi Papua dibatalkan karena tidak sesuai dengan aspirasi rakyat Papua.[11]
Demi meredam aspirasi rakyat Papua yang menginginkan kemerdekaan, terpisah dari NKRI dengan menolak pemekaran provinsi, maka pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 21/2001 tentang Otsus. “Status UU Otsus untuk Papua cukup mendapat respon positif dari sebagian besar masyarakat Papua ketimbang pemekaran yang dinilai akan merusak jati diri dan identitas orang Papua.”[12]
Tuntutan pemekaran propinsi Papua kembali muncul di Jakarta, ketika pada tanggal 19 September 2002, sekitar 250 masyarakat didatangkan dari Papua. Kedatangan mereka ini difasilitasi oleh panitia Reaktivisasi Propinsi Irian Jaya Barat yang dibentuk oleh lembaga “Irian Jaya Crisis Center” pimpinan Demianus Idjie. Aspirasi ini rupanya ditanggapi positif oleh pemerintah Indonesia, sehingga pada tanggal 27 Januari 2002, keluarlah Instruksi Presiden (Inpres No. 1/2003) Megawati Soekarnoputri yang memerintahkan supaya pemekaran Provinsi di Papua dipercepat, diawali dengan pendirian provinsi baru Irian Jaya Barat yang berpusat di Manokwari.[13]
Pada tanggal 6 Februari 2002, Provinsi Irian Jaya Barat resmi berjalan yang ditandai dengan pembukaan selubung papan nama Kantor Gubernur Irian Jaya Barat oleh Pejabat Gubernur Abraham O. Atururi.[14] Begitu pula yang terjadi pada tanggal 23 Agustus 2002, dilangsungkan pendeklarasian Provinsi Irja Tengah oleh segelintir anggota Muspida Mimika dan beberapa anggota DPRD Kabupaten Mimika. Pendeklarasian ini memicu bentrokan antar warga yang pro dan kontra pemekaran hingga menelan kerugian materiil dan juga korban jiwa.[15]

2. Menggugat UU Pemekaran Berdasar Kajian Hukum Indonesia[16]

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) [Pasal 1 ayat 1 UUD 1945] adalah Negara Hukum bukan Negara Kekuasaan [Bdk. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945][17]. Instrumen hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan Negara tersebut dalam sistem hukum Indonesia, diatur dalam Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Pada pasal 2 Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 dinyatakan secara jelas bahwa: tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
1) Undang-Undang Dasar 1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3) Undang-undang;
4) Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu);
5) Peraturan Pemerintah;
6) Keputusan Presiden;
7) Peraturan Daerah.
Sesuai dengan tata urutan yang disebutkan dalam Ketetapan MPR RI tersebut, maka keberlakuan setiap bentuk dari peraturan perundang-undangan di Indonesia, ditentukan oleh asas perundang-undangan. Terdapat 4 (empat) asas penting agar peraturan perundang-undangan dapat mewujudkan tujuan tatanan hukum, terutama tujuan adanya kepastian hukum. Keempat asas perundang-undangan tersebut, yaitu:
1) Lex superiori derogat lex inferiori (aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah)
2) Lex posteriori derogat lex priori (aturan yang kemudian mengesampingkan aturan yang terdahulu)
3) Lex specialis derogat lex generali (aturan khusus mengesampingkan aturan umum)
4) Non-retroaktif (aturan tidak berlaku surut).
Bila menilik UU Otsus, khususnya ketentuan pasal 76 dengan UU No. 45/1999 pemekaran Provinsi Irian Jaya, maka terdapatlah kesamaan “materi muatan” atau makna isinya, yakni “syarat dan tatacara pemekaran provinsi”. Mengingat kedua produk hukum tersebut mempunyai kedudukan hukum yang sederajat, yaitu Undang-Undang, maka asas perundang-undangan yang digunakan untuk melakukan pengkajian keabsahan berlakuanya adalah asas lex posteriori derogat lex priori (aturan yang kemudian mengesampingkan aturan yang terdahulu). Dengan begitu menjadi jelas bahwa yang sah berlaku adalah UU Otsus, karena dikeluarkan lebih kemudian, yaitu pada tahun 2001 dibandingkan dengan UU Pemekaran Provinsi Irian Jaya, yaitu tahun 1999.
Sehubungan dengan Inpres No. 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi, maka bila merujuk pada Ketetapan MPR RI No. III/MPR 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, tentulah Inpres RI dan Radiogram Menteri[18] tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan RI. Dengan demikian kedudukannya di bawah peraturan perundang-undangan RI. Karena itu secara otomatis, Inpres No. 1 Tahun 2003, pada dasarnya sudah tidak memiliki keberlakuan hukum meskipun belum dicabut oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkannya.


II. Thomas Aquinas Sang Ahli Hukum

A. Pengertian Hukum Secara Umum

Thomas mendefinisikan hukum sebagai “perintah akal budi demi kebaikan umum dan dipromulgasikan oleh orang yang bertugas memimpin masyarakat”. Dengan demikian, hukum memiliki karakteristik seperti tersebut di bawah ini:
1) Rasional, karena hukum merupakan perintah akal budi. Artinya, seseorang menghendaki suatu tujuan tertentu, akal budinya memerintahkan tentang apa yang seharusnya dilakukannya untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2) Teleologis atau berorientasi pada suatu tujuan tertentu, yaitu demi kebaikan umum. Dalam definisi tersebut, hukum dibuat berdasarkan atas kepentingan masyarakat, yaitu disusun demi kebaikan umum.
3) Untuk kepentingan tersebut, maka pembuatan hukum menjadi wewenang masyarakat secara keseluruhan atau menjadi wewenang seseorang yang ditunjuk mewakili masyarakat.[19]


B. Hierarkis Hukum: Abadi-Kodrat-Positif[20]

1. Hukum Abadi

Secara hierarkis Thomas menentukan jenis-jenis hukum ke dalam strukttur hukum yang terdiri dari Hukum Abadi, Hukum Kodrat, dan Hukum buatan Manusia (Hukum Positif). Puncak dari hierarki hukum adalah “hukum abadi”: yaitu, “pengaturan rasional atas segala sesuatu di mana Tuhan menjadi penguasa alam semesta”. Thomas berpendapat bahwa hukum abadi merupakan sumber dari segala hukum yang berlaku. Hukum abadi adalah sumber langsung dari hukum kodrat serta merupakan sumber tidak langsung dari hukum manusiawi atau hukum positif. Meskpun demikian, Thomas mengingatkan bahwa hukum abadi hanya dapat diamati “cahaya”-nya melalui akibat-akibat yang timbul, bukan melalui wujudnya. Cahaya hukum abadi hanya dapat dimengerti melalui analogi atau kias. Sebagai contoh misalnya, meskipun kita tidak dapat melihat matahari secara langsung, namun kita masih dapat melihatnya melalui cahayanya di siang hari. Akal budi manusia memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi hukum abadi, yaitu sebagai asas yang menggerakkan manusia menuju tujuan akhirnya. Dalam pengertian inilah, hukum memiliki makna sebagai “hukum”.

2. Hukum Kodrat[21]

Di bawah hukum abadi adalah “hukum kodrat”. Yang menjadi sumber langsung tentang pengenalan dan pemahaman manusia atas hukum kodrat adalah “akal praktis”. Jika setiap perbuatan manusia pada dasarnya memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapainya, dan tujuan ini memuat hakikat kebaikan, maka kebaikan merupakan inti dari akal praktis dan dipahami pada saat manusia berbuat sesuatu. Makna dan hakikat kebaikan, yaitu sesuatu yang diinginkan manusia sesuai dengan kodrat rasionalnya, merupakan asas pertama bagi akal praktis. Dengan demikian, aturan pertama hukum kodrat yaitu, “Berbuatlah baik dan hindarilah kejahatan”, menjadi dasar dari semua aturan atau perintah hukum kodrat.
Dari sudut pandang ini, hukum kodrat merupakan pernyataan kecenderungan struktural atau kecenderungan kodrat yang melekat pada kodrat manusia. Menurut Thomas, ada tiga kecenderungan struktural di dalam kodrat manusia, dan ketiganya tersusun secara hierarkis.
1) Kecenderungan yang berlaku sama untuk semua makhluk hidup, yaitu kecenderungan kodrat untuk mempertahankan diri dan keberadaannya.
2) Kecenderungan yang hanya berlaku untuk makhluk hidup yang berjiwa, namun bukan makhluk rasional, yaitu kecenderungan kodrat untuk mempertahankan jenis atau spesiesnya.
3) Kecenderungan yang khas manusiawi dan menjadi tanda partisipasi manusia pada Hukum Abadi, yaitu kecenderungan kodrat untuk berperilaku berdasarkan putusan akal serta kecenderungan untuk merealisasikan kemampuan rasionalnya.
Ada dua cara untuk mengamati hukum kodrat, yaitu secara formal dan secara virtual. Secara formal, hukum kodrat terdiri atas putusan-putusan aktual akal praktis tentang apa yang harus dikerjakan dan tentang apa yang tidak boleh dikerjakan. Hukum kodrat sendiri pada dasarnya merupakan kumpulan dari putusan-putusan semacam itu. Sarana yang dipergunakan untuk membentuk putusan-putusan tersebut adalah akal budi. Hukum kodrat dipahami secara virtual, karena dalam hal ini hukum kodrat merupakan manifestasi akal praktis yang memuat kecenderungan kodrat untuk membuat putusan-putusan moral. Dalam hal ini, hukum kodrat ada di dalam diri setiap persona yang mengembangkan kemampuan akal budinya dan membentuk asas-asas moral.

3. Hukum Buatan Manusia atau Hukum Positif

Akal budi tidak dengan sendirinya menjadi ukuran untuk hal-hal yang bersifat khusus, melainkan hanya dalam arti umum. Asas-asas yang secara kodrati “disusun” di dalam akal budi, yaitu hukum kodrat, menunjukkan aturan atau ukuran tentang hal-hal yang harus dilakukan manusia. Hukum manusiawi bukan merupakan aturan atau ukuran yang dapat berlaku untuk semua hal, melainkan hanya menjadi aturan dan ukuran perbuatan (lahiriah) manusia.
Ada dua bentuk hukum positif, yaitu hukum positif “deklaratif” dan hukum positif “determinatif”. Hukum positif “deklaratif” menyatakan atau menyimpulkan hal-hal yang diatur di dalam hukum kodrat, seperti misalnya: larangan membunuh, mencuri dan sebagainya. Hukum ini berbeda dari hukum kodrat hanya dalam hal cara promulgasinya. Hukum positif determinatif menentukan atau membatasi cara-cara berbuat yang sesuai dengan ketentuan hukum kodrat, meskipun ketentuan tentang cara-cara berbuat tersebut tidak diturunkan dari hukum kodrat. Hukum-hukum positif determinatif tersebut misalnya: tata tertib lalu lintas, peraturan perpajakan, peraturan dan undang-undang tentang Pemilu, penentuan persyaratan kontrak, dan sebagainya.
Beberapa alasan yang mendasari kebutuhan hukum kodrat atas hukum positif sebagai pelengkapnya adalah bahwa:
1) Bagi sebagian orang, perintah akal budi itu mungkin tidak jelas;
2) Sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan kebaikan umum, hukum kodrat memberikan banyak kemungkinan pilihan sehingga dapat menimbulkan banyak interpretasi untuk pelaksanaannya; dan
3) Kehidupan sosial yang kompleks setiap saat mengalami perubahan. Dalam hal ini hukum positif dibutuhkan untuk menghindari kekacauan validitasnya.


III. “Pandangan” Thomas Aquinas Atas Inpres No. 1/2003 dan UU No. 45/1999 Tentang Pemekaran

A. Inpres No. 1/2003 dan UU Pemekaran Tidak Sesuai dengan Hukum Kodrat

Munculnya UU Otsus sebagai tangapan pemerintah atas tuntutan masyarakat Papua karena tidak mendapatkan dan merasakan kesejahteraan, merupakan respon positif yang patut dipuji. Pemerintah Indonesia, yang mempunyai mandat atau merupakan representasi seluruh rakyat Indonesia -termasuk Papua-, telah berupaya menjamin kesejahteraan rakyatnya yang ada di bumi Cenderawasih dengan menetapkan UU Otsus bagi Provinsi Papua. Terbentuknya hukum positif yang disebut sebagai UU Otsus yang berisikan hal-hal yang mengatur masyarakat Papua dalam mencapai kesejahteraannya, kiranya sesuai dengan pengertian hukum ala Thomas Aquinas. Sesuai dengan hukum ala Thomas, karena UU Otsus ditetapkan oleh pihak yang berwenang, yakni Pemerintah Indonesia dan berdasarkan kajian akal budi manusia yang terarah pada kebaikan manusia (Papua). Dalam sudut pandang ini, Thomas tentu amatlah memuji UU Otsus Papua.
Kebaikan manusia (Papua) yang diupayakan melaui UU Otsus, pada dasarnya adalah demi mempertahankan diri dan identitas masyarakat Papua yang amat sering didengung-dengungkan hingga saat ini. Hal ini amatlah sejalan dengan hukum kodrat yang ditelurkan oleh Thomas. Karena itu UU Otsus, yang adalah hukum positif, pada dasarnya “sepikir” dengan hukum kodrat.
Namun sayangnya, substansi UU Otsus yang mulia itu, ternyata tidak dapat dterapkan sesuai dengan tujuannya. Ketiga fakta yang dikemukakan oleh DAP selama berlangsungnya Otsus, merupakan bukti nyata bahwa UU Otsus belumlah diimplementasikan dengan semestinya. Kepincangan ini pada dasarnya disebabkan oleh satu alasan mendasar, yakni Otsus dipandang sebagai batu loncatan menuju kemerdekaan. Beberapa pasal yang dinilai sebagai ancaman terhadap keutuhan NKRI itu diantaranya: Bab II pasal 2 tentang Lambang-Lambang Daerah, Bab V tentang bentuk dan susunan pemerintahan khususnya bagian keempat pasal 19 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Bab VII pasal 28 ayat 1, 2, 3 dan 4 tentang partai politik. Pasal-pasal krusial ini dianggap oleh pemerintah RI sebagai ancaman serius, dan karena itu tidalah heran Otsus sulit diimplementasikan.[22]
Demi menjaga keutuhan NKRI dan menghambat implementasi Otsus, dikeluarkan Inpres No. 1/2003, yang menginstruksikan dipercepatnya pelaksanaan UU No. 45/1999 tentang pemekaran Provinsi Papua. Berdasarkan hukum positif Indonesia, Inpres No. 1/2003 yang memaksakan pemberlakuan UU No. 45/1999, tidaklah mempunyai landasan hukum yang sah. Dengan begitu UU pemekaran dan Inpres tersebut, amat nyata tidak sesuai dengan kodratnya sebagai “hukum”, yakni kesejahteraan rakyat dan pengakuan dari masyarakat. Secara logis atau dengan menggunakan akal budi saja, Inpres dan UU Pemekaran sudah salah, apalagi bila dikaitkan dengan UU Positif yang berlaku di Indonesia. Kenyataan ini amatlah tidak sesuai dengan pikiran Thomas Aquinas.
Keluarnya Inpres yang memaksakan agar UU Pemekaran yang sudah tidak sah itu diberlakukan, pun pula memperlihatkan bahwa Pemerintah Indonesia –melalui pemimpinnya, yakni presiden- telah bertindak tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Dengan mengeluarkan Inpres, maka kodratnya sebagai manusia yang berupaya mempertahankan diri dan keberadaannya, telah dihancurkannya karena telah bertindak tidak logis dan juga merusak diri dan keberadaan manusia lainnya. Disinilah letak kritik Thomas Aquinas atas pelaku-pelaku dan hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Pelaku-pelaku dan hukum serta putusan-putusan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, pada dasarnya seringkali tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia.

B. Inpres No. 1/2003 dan UU Pemekaran Tidak Sesuai Dengan Etika Politik

Menilik kritik Thomas Aquinas atas realitas (implementasi) Otsus dengan dikeluarkannya Inpres No. 1/2003 yang tidak sesuai dengan kodrat manusia, maka terlihat secara jelas bahwa implementasi Otsus pada dasarnya pun pula tidak sesuai dengan etika politik[23]. Sumber etika politik tidak lain dari martabat luhur manusia. (Inilah yang menjadi sumbangan Thomas Aquinas yang hakiki pada etika politik, bahwa pendasaran segenap kekuasaan yang sah pada legitimasi etis, berdasarkan kodrat dan martabat manusia sebagai makhluk yang bebas.[24]) Artinya, urgensi etika politik dalam pelaksanaan Otsus terletak pada tuntutan agar pelaksanaan pemerintahan daerah benar-benar memperlihatkan penghargaan terhadap rakyat di daerah sebagai person yang bernilai pada dirinya. Parameter yang lazim dipakai untuk mengukur tingkat penghargaan terhadap rakyat sebagai person adalah kesejahteraan umum[25].
Bila melihat (implementasi) Otsus dengan dikeluarkannya Inpres No. 1/2003 yang meminta percepatan pemekaran wilayah sesuai dengan UU No. 45/1999 di Provinsi Papua yang sudah diberi otonomi secara khusus maka undang-undang atau peraturan tersebut sama sekali bukan untuk mensejahterahkan rakyat. Malahan sebaliknya undang-undang atau peraturan itu telah menghancurkan kehidupan rakyat (Papua), karena telah menimbulkan kerugian materiil dan juga korban jiwa[26]. Dengan begitu, Inpres No. 1/2003 tidaklah sesuai dengan kodratnya sebagai hukum karena tidak mendasarkan diri pada tujuan hakiki hukum, yakni keadilan, kesejahteraan dan penghargaan atas martabat manusia. Selain peraturan tersebut tidak sesuai dengan kodratnya, maka pihak yang mengeluarkan peraturan itu, pun pula telah melanggar kemanusiaannya karena tidak menggunakan akal budi yang sehat.
Kenyataan ini kiranya pula memperlihatkan bahwa peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia hanya bertujuan untuk melanggengkan “kekuasaan” yang ada. Cara Pemerintah Indonesia dalam melanggenggkan kekuasaannya ialah dengan gaya fragmentasi[27]. Keluarnya Inpres No. 1/2003 dan belum (atau tidak) diwujudnyatakan pasal-pasal dalam Otsus Papua adalah bukti nyata keinginan Pemerintah Indonesia memecah belah rakyat Papua demi menguasai Papua dalam wadah NKRI. Dengan begitu terlihat bahwa kekuasaan yang dimandatkan rakyat kepada Presiden (baca: Pemerintah Indonesia), digunakan bukan untuk keselamatan umat manusia, melainkan bertujuan “menghancurkan” umat manusia. Dan karena ini sungguh terjadi di wilayah Papua, maka peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia, tidak sesuai dengan hukum kodrat dan lebih khusus lagi etika politik seperti yang didengungkan oleh Thomas Aquinas.


IV. Kesimpulan

Terbitnya Otsus merupakan tindakan yang “menghidupkan” masyarakat yang ada di tanah Papua. Kendati begitu (implementasi) Otsus belum menghantar masyarakat Papua pada “keselamatan” karena sulit mempertahankan diri dan keberadaannya sebagai masyarakat Papua yang bermartabat. Ini tampak dari tidak diamalkannya beberapa pasal krusial dari UU Otsus, misalnya: Bab II pasal 2 tentang Lambang-Lambang Daerah, Bab V tentang bentuk dan susunan pemerintahan khususnya bagian keempat pasal 19 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Bab VII pasal 28 ayat 1, 2, 3 dan 4 tentang partai politik. Pasal-pasal yang dianggap oleh Pemerintah Indonesia menjadi cikal-bakal terpisahnya Papua dari NKRI, pada dasarnya merupakan ciri khas jati diri dan keberadaan masyarakat Papua.
Lebih parah lagi adalah keluarnya Inpres No. 1/2003 yang tidak memiliki landasan hukum karena dengan sendirinya tidak sah dengan adanya UU Otsus di Papua, memperlihatkan bahwa peraturan tersebut tidak sesuai dengan norma hukum kodrat dan etika politik seperti yang “dinyatakan” oleh Thomas Aquinas. Bahkan dengan diputuskannya Provinsi Irian Jaya Barat sebagai sebuah pemerintahan yang ada dan sudah berjalan meskipun tidak sah secara hukum, menjadi tanda nyata bahwa hukum di Indonesia begitu mudah untuk dipermainkan.[28] Hukum atau peraturan, seperti yang terjadi dengan Inpres No. 1/2003 dan UU Pemekaran, yang seharusnya menjadi sandaran dalam mengatur hidup bermasyarakat, diputar-balik hingga memecah belah masyarakat.
Ulasan mengenai hukum di Indonesia yang kerap diterbitkan tanpa landasan hukum dan bahkan bertentangan dengan hukum yang sudah dipromulgasikan seperti Inpres No. 1/2003 dan UU Pemekaran yang bertentangan dengan UU Otsus, hanyalah secuil contoh yang menunjukkan betapa buruknya hukum di Indonesia. Hukum di Indonesia acapkali tidak sesuai dengan norma hukum kodrat dan etika politik. Sebab itu tidaklah heran bila banyak pula keputusan-keputusan hukum pun tidak sesuai dengan prinsip hukum kodrat dan etika politik. Bebasnya koruptor besar seperti Ir. Akbar Tandjung yang sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Tinggi tetapi dibebaskan kembali pada tingkat kasasi, dikalahkannya pemenang Walikota Depok yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan beberapa waku lalu oleh Pengadilan Tinggi Negeri Depok dan Pengadilan Negeri Tinggi Depok menetapkan calon Walikota Depok yang diusung oleh Partai Golkar sebagai walikota yang resmi, bebasnya para pelanggar Hak Asasi Manusia Timor-Timur dan juga bebasnya pelanggar HAM kasus Abepura yakni John Usman dan Daud Sihombing, adalah kenyataan yang memperlihatkan betapa lemahnya hukum di Indonesia. Hukum di Indonesia, ditetapkan seolah-olah untuk dipermainkan dan bukan untuk ditaati. Dengan lain kata, hukum di Indonesia tidak mempunyai landasan hukum.
Merujuk pada kenyataan tersebut, tidaklah heran bila DAP mengembalikan UU Otsus ke Pemerintah Indonesia melalui DPRP dan menginginkan “bentuk hidup” yang lain. Masyarkat Papua, melalui DAP ternyata tidak menemukan “keselamatan” dalam UU Otsus!


Penutup

Thomas Aquinas menaruh perhatian besar pada hubungan antara hukum dengan moralitas (baca: etika politik). Didefenisikannya bahwa hukum sebagai aturan dan ukuran perbuatan yang mengarahkan atau melarang manusia berbuat. Jika mengarahkan perbuatan, maka aturan dan ukuran tersebut membimbing manusia mencapai kebaikan individualnya, yaitu pemenuhan kesempurnaan kodrat rasional. Meskipun demikian, menurut Thomas, “kebaikan: hanya dapat terwujud jika ada cinta manusia terhadap sesamanya, dan cinta ini hanya akan terwujud jika ada keadilan. Kondisi kehidupan manusia seperti ini akan terbentuk jika ada hukum yang akan menjadi sarana penyelenggaraan cinta kepada sesama. Di dalam konteks kehidupan sosial manusia, hanya cinta yang dapat menjamin kebebasan setiap individu sehingga manusia dapat mencapai kebahagaiaan atau kebaikan umum.
UU Otsus, pada awalnya merupakan hukum yang menjadi sarana penyelenggaraan cinta kepada manusia (Papua). Namun hukum (baca: UU Otsus) yang menjadi sandaran bagi manusia (Papua) untuk merasakan dan menyalurkan cinta tersebut (baca: keselamatan), sudah tidak dipercayai lagi. Ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap sarana penyelenggaraan cinta itu (baca; UU Otsus) disebabkan oleh kemauan Pemerintah Pusat yang tidak mengimplementasikan UU Otsus secara murni dan konsekuen, sehingga Otsus akhirnya dianggap sekedar “gula-gula” politik. Ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap hukum di Indonesia (Otsus Papua), semakin memilukan dengan irama tarik-ulur pembentukan MRP oleh Pemerintah Pusat hingga keluarnya Instruksi Presiden Megawati yang memberi angin terbentuknya Provinsi Irian Jaya Barat (IJB).[29]
Bila ketidakpercayaan masyarakat Papua atas hukum di Indonesia ini tidak dipulihkan dengan cara-cara yang bijaksana[30], maka sebagai makhluk yang berkodrat, manusia-manusia Papua akan berjuang demi mempertahankan kodratnya. Bila perjuangan dalam mempertahankan kodratnya ini senantiasa terus-menerus dilaksanakan, maka penulis yakin bahwa bukanlah hal yang mustahil bila suatu saat kelak, Papua dapat menemukan “keselamatan” –entah dengan cara damai entah pula dengan cara kekerasan-[31].
Kepustakaan:


Broek, Theo van den. Membangun Kapasitas Untuk Implementasi Otsus Papua (Sebuah makalah yang tidak dipublikasikan). Jayapura, Februari 2004.
Harian Cenderawasih Pos 2 Januari 2002.
Harian Cenderawasih Pos, 28 Januari 2002.
Harian Cenderawasih Pos, 7 Februari 2002.
Harian Cenderawasih Pos 13 Juli 2005.
Harian Cenderawasih Pos, 24 Agustus 2002.
Kambu M. Si, Drs. M. R. Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembentukan Provinsi Papua. Jayapura: Kotamadya Jayapura, Oktober 2003.
Lumban Gaol, Goklian. Pemikiran Karl Marx Mengenai Hukum dan Relevansinya Bagi Negara Indonesia Saat Ini (Skripsi S-I). Abepura: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur”, Mei 2002.
Mahkamah Konstitusi Jakarta. Putusan No. 018/PUU-I/2003 Tentang Peninjauan Pengujian UU NO 45 Tahun 1999; Pembentukan Irja Tengah, Irja Barat. Jakarta, Mahkamah Konstitusi, 2003.
Momao, Sefnat. Papua Dalam Bayang-Bayang Pemekaran VS Otsus: Rakyat Papua Hendak Dibawa Kemana?. Yogyakarta: Yayasan Tifa Papua Mandiri, 2004.
Ohoitimur, Yong MSC. “Pelaksanaan Otonomi Daerah: Berpeganglah pada Etika Politik”, di dalam: Anicetus B. Sinaga, OFM Cap., Etos & Moralitas Politik: Seni Pengabdian untuk Kesejahteraan Umum. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Jayapura: Sekretariat Daerah Provinsi Papua, 2001.
Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura (SKPKJ), Memoria Passionis di Papua 2001. Jayapura: SKPKJ dan Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2003.
--------. Memoria Passionis di Papua: Kondisi Sosial-Politik dan Hak Asasi Manusia 2002-2003. Jayapura: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura (SKPKJ) & Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 2004.
--------. Otsus di Ujung Tanduk. Jayapura: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, Juni 2005.
Sumaryono, E. Etika & Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994.
--------. 13 Model Pendekatan Etika. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
--------. Kuasa & Moral, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Papua, Tim Kajian Hukum ICS-LPMS. Keabsahan Berlakunya Inpres No. 1 Tahun 2003 Dalam Kontek Adanya “Pertentangan Norma Hukum” Antara Materi Muatan Undang-Undang No. 45 Tahun 1999 Denman Undang No. 21 Tahun 2001, Jayapura: Institute for Civil Strengthening (ICS)-Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil Papua. (Sebuah makalah yang tidak dipublikasikan.)
Windhu, I. Marsana. Kekuasaan & Kekerasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius, 1992, hal. 51.
[1]Undang-undang Otonomi Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001, diberlakukan secara resmi di Papua per 1 Januari 2002. Lih. Harian Cenderawasih Pos 2 Januari 2002, hal. 1.
[2]Lih. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura (SKPKJ), Memoria Passionis di Papua 2001, Jayapura: SKPKJ dan Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2003, hal. 163-164.
[3]Harian Cenderawasih Pos, 13 Juli 2005, hal. 1.
[4]E. Sumaryono, Etika & Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 5.
[5]Ibid., hal. 2.
[6]Bdk. Drs. M.R. Kambu, M. Si, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pemekaran Provinsi Papua, Jayapura: Kotamadya Jayapura, Oktober 2001, hal. 21.
[7]Lih. Presiden Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Jayapura: Sekretariat Daerah Provinsi Papua, 2001.
[8]Sefnat Momao, Papua Dalam Bayang-Bayang Pemekaran VS Otsus: Rakyat Papua Hendak Dibawa Kemana?, Yogyakarta: Yayasan Tifa Papua Mandiri, 2004, hal. 114-115.
[9]Ibid., hal. 42.
[10]Tentang pembentukan pemekaran provinsi, sudah diatur dengan jelas pada pasal 76 UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otsus. Lih. Presiden Republik Indonesia, Op. Cit., hal. 47.
[11]Mamao, Op. Cit., hal.1-5.
[12]Ibid., hal. 20.
[13]Harian Cenderawasih Pos, 28 Januari 2002, hal. 1.
[14]Harian Cenderawasih Pos, 7 Februari 2002, hal. 1-2.
[15]Harian Cenderawasih Pos, 24 Agustus 2002, hal. 1-2.
[16]Bagian ini sepenuhnya didasarkan pada tulisan dari Tim Kajian Hukum ICS-LPMS Papua, Keabsahan Berlakunya Inpres No. 1 Tahun 2003 Dalam Konteks Adanya “Pertentangan Norma Hukum” Antara Materi Muatan Undang-Undang No. 45 Tahun 1999 Dengan Undang No. 21 Tahun 2001, Jayapura: Institute for Civil Strengthening (ICS)-Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil Papua. Sebuah makalah yang tidak dipublikasikan.
[17]Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, UUD 1945, P-4, GBHN, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1988, hal. 1-2.
[18]Dalam perspektif Hukum atau Hukum Administrasi Negara, Inpres, Instruksi Menteri, Radiogram Menteri dan instrumen hukum sejenis merupakan instrumen hukum untuk menjalankan kebijakan yang dibuat oleh pejabat publik dan termasuk dalam klasifikasi kebijakan. Lih. Kajian Hukum ICS-LPMS Papua, Ibid., hal. 5.
[19]E. Sumaryono, Op. Cit., hal. 32-33.
[20]Bagian ini seluruhnya dikutip dari tulisan E. Sumaryono, Ibid., hal. 73-82.
[21]Lihat pula tulisan dari: Franz. Magnis-Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hal. 87-97.
[22]Mamao, Op. Cit., hal. 42-43.
[23]Berkenaan dengan etika politik, bisa dilihat pada tulisan Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994, hal. 8-22.
[24]Lih. Franz Magnis-Suseno, Kuasa & Moral, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal. 7.
[25]Bdk. Yong Ohoitimur, MSC, “Pelaksanaan Otonomi Daerah: Berpeganglah pada Etika Politik”, di dalam: Anicetus B. Sinaga, OFM Cap., Etos & Moralitas Politik: Seni Pengabdian untuk Kesejahteraan Umum, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 211-212.
[26]Lih. Theo van den Broek Ofm, dkk., Memoria Passionis di Papua: Kondisi Sosial-Politik dan Hak Asasi Manusia 2002-2003, Jayapura: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura (SKPKJ) & Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 2004, hal. 49-80.
[27]Fragmentasi adalah suatu cara yang digunakan oleh satu kelompok bangsa untuk menguasai kelompok lain dengan cara memecah belah. Lih. I. Marsana Windhu, Kekuasaan & Kekerasan Menurut Johan Galtung, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hal. 51.
[28]Lihat hasil keputusan Mahkamah Konstitusi Jakarta, yang memenangkan gugatan DPRP Papua atas nama Drs. Jhon Ibo, namun mengijinkan Pemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat tetap berjalan meski dinyatakan secara tegas bahwa pemerintahan itu tidak sah secara hukum. Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara No. 018/PUU-I/2003, Tentang Peninjauan Pengujian UU NO. 45 Tahun 1999. Pembentukan Irja Tengah, Irja Barat, Jakarta: 2003.
[29]Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, (SKPKJ), Otsus di Ujung Tanduk, Jayapura: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, Juni 2005, hal. 26-27.
[30]Mengenai strategi dan rencana aksi untuk implementasi Otsus yang bijaksana, dapat dilihat tulisan dari: Theo van den Broek, Membangun Kapasitas Untuk Implementasi Otsus Papua (Sebuah makalah yang tidak dipublikasikan), Jayapura, Februari 2004.
[31]Kiranya mimpi ini pulalah yang pernah dipikirkan oleh Karl Marx. Lih. Goklian Lumban Gaol, Pemikiran Karl Marx Mengenai Hukum dan Relevansinya Bagi Negara Indonesia Saat Ini (Skripsi S-I), Abepura: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur”, Mei 2002, hal. 55-58.

Tidak ada komentar: