Pembuka
Kultur-culture-cultuur berasal dari kata Latin “cultura” yang kata kerjanya “colore” berarti mengolah tanah. Dalam hubungannya dengan kebudayaan, kultur adalah semua hasil karya manusia dari cara mengolah sawah sampai cara berpikir. Atau apa saja yang dihasilkan oleh manusia. Inkarnasi berhubungan dengan kultur masyarakat. Dalam inkarnasi Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Artinya, Ia mewarisi dan menghayati kultur Yahudi dengan ciri-cirinya yang khas, dengan kekurangan dan kelebihannya. Seperti Sabda Allah menjadi manusia Yahudi, demikian juga wahyu Allah menjelma dalam kultur bangsa Yahudi, dengan segala konsekuensinya. Yang diwartakan bukan kultur bangsa Yahudi melainkan Kerajaan Allah. Sebaliknya kultur bangsa Yahudi sudah disiapkan untuk pertama kali menjasmanikan pewartaan kerajaan Allah[1]. Hal ini disebut pula dengan dasar teologis pempribumian (baca: inkulturasi), yakni misteri kasih Allah Tritunggal di mana Sang Putra menjadi manusia (inkarnasi) serta menerima konsekuensi terakhirnya sebagai manusia: wafat namun dibangkitkan Bapa dalam Roh Kudus; yang hadir dan berkarya menghidupkan umat Allah.
Tulisan ini menelusuri dasar teologis tersebut. Bagian pertama tulisan ini secara sekilas pandang mengulas teks Yoh 1:1-18, yang adalah dasar teologis inkulturasi. Kemudian bagian kedua menguak tabis dari Yoh. 1:1-18. Selanjutnya ditariklah kesimpulah praktis dalam hubungannya dengan inkulturasi.
I. Selayang Pandang teks Yohanes 1:1-18
Pada mulanya semua anggota gereja Kristen mula-mula adalah orang-orang Yahudi. Secara manusiawi Yesus adalah seorang Yahudi. Kekristenan sendiri mulai muncul pertama-tama di tengah-tengah orang Yahudi. Dan karena itu kekristenan tidak bisa berbicara lain kecuali dengan bahasa Yahudi dan memakai kaidah-kaidah pikiran Yahudi. Kendati begitu kekristenan segera tersebar dan masuk ke dalam dunia yang lebih luas khususnya Yunani (dan selanjutnya tersebar ke seluruh penjuru dunia). Ide-ide Yahudi merupakan hal yang sama sekali asing bagi orang-orang Yunani. Karena itu muncul persoalan, bagaimanakah kekristenan itu harus diterangkan dan diberitakan kepada dunia Yunani? Berangkat dari persoalan tersebut, sekitar tahun 100 Masehi di Efesus, seorang bernama Yohanes tertarik akan masalah itu dan menemukan jalan keluarnya. Baik di dalam alam pikiran Yunani maupun alam pikiran Yahudi terdapat konsep tentang firman. Konsep ini merupakan pusaka dan warisan atau suatu hal yang dapat dijabarkan lebih lanjut untuk menghadapi dua dunia itu, Yunani dan Yahudi[2]. Itulah yang terungkap dalam Yohanes 1:1-18.
Perikop Yoh 1:1-18 merupakan prolog yang merangkum seluruh uraian Injil Yohanes yang terdiri dari dua puluh bab. Secara visual, prolog Yohanes berbentuk demikian[3]:
1. Firman dengan Allah (1-2). 1. Anak di sisi Allah Bapa (18).
2. Peranan dalam ciptaan (3). 2. Peranan dalam ciptaan kembali (17).
3. Anugerah kepada manusia (4-5) 3. Anugerah kepada manusia (16).
4. Kesaksian Yohanes (6-8). 4. Kesaksian Yohanes (15).
5. Firman masuk ke dalam dunia (9-11). 5. Inkarnasi (14)
6. Melalui Firman kita menjadi anak-anak Allah (12-13).
Isi kedelapan belas ayat ini berbicara mengenai pewahyuan Allah, bagaimana Ia menjelaskan diri-Nya kepada kita. Dalam prolog, pewahyuan diri Allah tersebut digambarkan secara terperinci. Allah menyatakan diri melalui penciptaan (2-5), juga melalui kata-kata dalam Perjanjian Lama (10-13), melalui perjanjian-Nya, tulisan-tulisan Musa, para nabi dan sastra kebijaksanaan. Mereka yang membuka mata dan percaya kepada pewahyuan lama ini menjadi-anak Allah (12-13). Akhirnya Allah mewahyukan diri paling utama melalui inkarnasi, Firman menjadi manusia dan tinggal di antara manusia.
Pola inkarnasi ini bercorak universal dan juga partikular. Firman menjelma dalam konteks agama dan kebudayaan Yahudi dan Helenis. Ia yang universal mendapat bentuk dan karakteristik khasnya menurut cara pandang konteks setempat. Karakteristik[4] Firman yang universal dalam perikop tersebut diantaranya: terang, hidup, kemuliaan dan anak tunggal. Sedangkan karakteristik partikular dalam konteks agama dan kebudayaan Yahudi adalah Mesias, Anak Allah, Anak Domba Allah, Raja Israel, dan Anak Manusia[5].
II. Menguak Tabir Yoh 1:1-18 dan Relevansinya Terhadap Inkulturasi
Dalam perikop tersebut terlihat bahwa Allah mengutus Anak-Nya menjadi daging-tulang manusia demi keselamatan manusia, Dia telah mau melibatkan diri-Nya secara penuh dalam pergumulan manusia. Dengan tindakan menjadi manusia, Allah masuk ke dalam konteks manusia melalui wujud manusia tertentu. Dia sebagai orang Yahudi, yang hidup pada zaman penjajah Palestina oleh Roma. Dia sebagai tukang kayu dari Galilea, yang berbahasa Aram, logat Galilea. Dia terikat oleh kebudayaan orang Yahudi dan di bawah pembatasan waktu dan tempat. Yang Transenden menjadi Manusia dalam segala aspeknya. Dia mengalami pergumulan yang sama dengan manusia sampai meninggal dunia.
Perjanjian Baru (secara khusus Yohanes 1:1-18) memberikan kepada kita pola tentang adaptasi kultural. Inkarnasi Tuhan Allah ke dalam Anak-Nya Yesus Kristus adalah inkulturasi penuh. Anak Allah berkenan memasang tanda-Nya diantara manusia untuk memungkinkan kita diselamatkan. Yahwe yang maha tinggi, yang tak dapat dilihat atau didekati oleh siapapun telah menjelma untuk dapat dilihat dan didekati melalui proses inkarnasi.[6] Allah masuk ke dalam konteks manusia secara total. Manusia mengenal Allah justru melalui inkarnasi-Nya itu. Di dalam Yesus Kristus kita dapat melihat siapa Allah sebenarnya. Allah mengikat diri pada kebudayaan dan masa tertentu, dan dalam wujud ini Ia mengungkapkan watak-Nya. Tampaklah bahwa di dalam pengantar Injil Yohanes ini ditampilkan pola inkarnasi (inkulturasi) universal Yesus Krsitus dan inkarnasinya dalam konteks partikular tertentu.
Jika inkarnasi diterima sebagai kepercayaan yang fundamental dalam agama Kristen, hal ini berarti bahwa tubuh Kristus –yaitu Gereja- harus berinkarnasi ke dalam kebudayaan setempat/tertentu[7]. Supaya iman Kristen berakar dengan betul dalam kebudayaan setempat, dan “mengambil rupa” kebudayaan, diperlukan pengenalan akan kebudayaan dengan baik sekali. Caranya, kita harus mengenalnya “dari dalam”. Baru kalau begitu kita dapat melihat dengan tajam, mana kesempatan untuk iman Kristen masuk ke dalam kebudayaan. Baru jika kita kenal kebudayaan dari dalam, kita dapat menentukan bentuk apa yang cocok untuk dipakai, dan mana bahayanya. Di lain pihak untuk menjaga agar watak dari iman Krsiten tidak disangkal dalam proses kontekstualisasi, diperlukan orang yang atas dasar tafsiran Alkitab, terus-menerus dapat mempertimbangkan usaha kontekstualisasi secara kritis. Untuk itu diperlukan orang yang dapat menafsir Alkitab dengan baik, secara metodis dan sistematis, tanpa ada kejanggalan.
Dalam usaha inkulturasi teologi, ada dua tahap yang harus dijalankan, yakni: (1) yang menjadi titik tolak dari seluruh kegiatan adalah kebutuhan dan pergumulan jemaat dalam konteksnya. Dengan lain kata, pandangan mereka sendirilah yang menjadi patokan sampai mereka sendiri merasa bebas untuk mengungkapkan dirinya. (2) kemudian para ahli teologi diberi kesempatan untuk menyampaikan kritiknya, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, memberikan bahan refleksi kepada jemaat supaya mereka sendiri menilai usaha mereka dalam berkontekstualisasi.
Cara yang paling tepat dalam mengkomunikasikan pemahaman agamawi yang “paling dekat” jemaat adalah “bahasa”, ceritera, lambang, perumpamaan, metafora, alegori, lagu dan ritual. Karena itu yang ingin berteologi secara inkulturasi lebih baik mempelajari “bahasa” seperti yang dimaksud.
Inkulturasi mau menyoroti partikularitas, tetapi partikularitas ini tidak pernah dilihat lepas dari universalitas. Tujuan inkulturasi bukanlah supaya persaudaraan universal diantara umat Kristen menjadi pecah terpisah-pisah, melainkan supaya ada konvergensi: satu sama lain saling menghargai kepribadian masing-masing dan satu sama lain saling belejar dari kekayaan masing-masing dan satu sama lain tidak memaksakan unsur-unsur kebudayaan sendiri sebagai “kebenaran Injil” yang harus diterima kalau mau selamat.[8] Dengan kata lain inkulturasi ialah bahwa satu sama lain belajar dari kekayaan masing-masing.
III. Kesimpulan
Inkulturasi mencakup seluruh sendi kehidupan umat manusia. Ini merujuk pada arti kata inkulturasi sendiri, yakni suatu pemurnian yang terus menerus atau penyempurnaan atau berkaitan dengan inkarnasi (kelahiran kembali). Adapun prinsip inkulturasi adalah misteri kasih Allah Tritunggal dalam rangka sejarah dunia dan isinya, di mana Sang Putra menjadi manusia (inkarnasi) serta menerima konsekuensi terakhirnya sebagai manusia: wafat namun dibangkitkan Bapa dalam Roh Kudus; yang hadir dan berkarya menghidupkan umat Allah. Sebagaimana Sabda yang menjelma tidak menghapus satu titik pun pada hukum Taurat, demikian pula Gereja dalam karya misionernya harus menghargai adat istiadat dan kebudayaan dalam masyarakat setempat karena warisan bangsa tersebut telah membuktikan diri menjadi sarana pelestarian hidup dan keberadaan seluruh ciptaan. Gereja, di dalam karya misionernya, harus mencari dan menemukan nilai-nilai ilahi yang ada di dalam suatu agama, kebudayaan dan bangsa tertentu sejauh unsur-unsur tersebut mempunyai akar-akarnya pada kehendak Allah untuk menyelamatkan umat manusia.
Kontekstualisasi ataupun inkulturasi menunjukkan pembaruan kebudayaan yang kristen, dialog kebudayaan dengan Injil dan dengan pribadi Yesus yang mentransformasi. Maka, inkulturasi dapat disebut juga suatu jalan kehidupan, sebab dialog dan transformasi harus dialami dan dihayati oleh orang-orang dalam komunitas basis yang berada di tengah keramaian hidup sosial dan budaya. Warta dan pesan kristiani mesti berakar dalam kebudayaan-kebudayaan dan untuk itu penyampaian pesan tersebut mesti sanggup tidak hanya memberi kepada melainkan juga menerima dari kebudayaan-kebudayaan yang mendengarkan Injil. Inkulturasi merupakan dialog terus-menerus antara Sabda Allah dengan manusia dalam banyak segi dan cara kehidupannya.[9]
Penutup
Pada dasarnya inkulturasi itu mudah, asalkan semua pihak mempunyai komitmen, integritas dan mau terbuka dengan menerima pihak yang satu dengan yang lainnya apa adanya. Sarana yang dijadikan sebagai bahan appersepsi sudah tersedia dalam masyarakat, tinggal bagaimana caranya mengelolanya dan menerapkan ajaran Kristiani ke dalamnya atau membudayakan Gereja di tengah situasi seperti itu. Selain itu upaya inkulturasi seharusnya berlandaskan pada apa yang ada dalam masyarakat tertentu serta kebutuhan-kebutuhan mereka. Dengan begitu inkulturasi pada dasarnya berhubungan dengan kondiri riil masyarakat setempat. Inkulturasi harus berasal dari masyarakat setempat, dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan bertujuan untuk masyarakat setempat. Inilah kerangka dasar dalam mengembangkan inkulturasi di mana saja. Bila hal ini sungguh dihayati, maka upaya inkulturasi akan berjalan secara maksimal.
Oleh karena Gereja menjadi penerus karya penyelamatan Allah di dunia, maka inkulturasi pun berkait erat dengan misi Gereja. Sebagaimana Sabda yang menjelma tidak menghapus satu titik pun pada hukum Taurat, demikian pula Gereja dalam karya misionernya dituntut menghargai adat-istiadat dan kebudayaan dalam masyarakat setempat karena nilai-nilai ilahi terkandung di dalamnya. Dengan begitu Gereja sepantasnya dijelmakan dalam kehidupan orang-orang setempat, dipimpin orang-orang setempat, menggali kebutuhan dan menjawabnya sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat lokal, serta menemukan dalam dirinya sendiri sumber daya cipta yang dibutuhkan demi hidup dan perutusannya.
[1]Th. Koendjono, “Suatu pemikiran tentang inkulturasi”, di dalam: Komolit MAWI, Bina Liturgia I: Inkulturasi, Jakarta: Obor, 1985, hal. 9.
[2]Berkenaan dengan FIRMAN, diuraikan oleh Willian Barclay, di dalam bukunya berjudul: Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Injil Yohanes Fs. 1, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1983, hal. 44-62.
[3]Diannes Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Ed.), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 163-164.s
[4]Karakteristik-karakteristik ini diuraikan secara mendetail oleh Willian Barclay, Op. Cit., hal. 62-131.
[5]Agus A. Alua, Injil Yohanes (Diktat Kuliah Pasca Sarjana), Abepura: STFT “Fajar Timur”, 2004/2005, hal. 6.
[6]Joe Caquare, “Pempribumian Sebagai Inkarnasi Konsep Tentang Kristus Dari Melanesia”, di dalam: Feije Duim dan David Sulistyo (Ed.), Dengan Segenap Hatimu, Irian Jaya: Biro Pengabdian dan Penelitian STT-GKI “I.S. Kijne” dengan Departemen Penelitian dan Pengembangan Sinode GKI, 1988, hal.118.
[7]Lih. Feije Duim, “Mengertikah Tuan Apa yang Tuan Baca Itu?”, di dalam: Feije Duim dan David Sulistyo, Ibid., hal. 82.
[8]E. G. Singgih, “Kontekstualisasi Sebagai Usaha Menghayati Kebenaran Injil”, di dalam: Feije Duim dan David Sulistyo, Ibid., hal.106-107.
[9]J.B. Banawiratma SJ, “Menjernihkan Inkulturasi”, di dalam: Komlit MAWI, Op. Cit., hal. 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar