Minggu, 27 Januari 2008

Darimana Asalnya Alkitab?


SEJARAH TERBENTUKNYA KITAB-KITAB PERJANJIAN LAMA
Alkitab Gereja Katolik terdiri dari 73 kitab, yaitu Perjanjian Lama terdiri dari 46 kitab sedangkan Perjanjian Baru terdiri dari 27 kitab. Bagaimanakah sejarahnya sehingga Alkitab terdiri dari 73 kitab, tidak lebih dan tidak kurang? Pertama, kita akan mengupas kitab-kitab Perjanjian Lama yang dibagi dalam tiga bagian utama: Hukum-hukum Taurat, Kitab nabi-nabi dan Naskah-naskah. Lima buku pertama: Kitab Kejadian, Kitab Keluaran, Kitab Imamat dan Kitab Bilangan dan Kitab Ulangan adalah intisari dan cikal-bakal seluruh kitab-kitab Perjanjian Lama. Pada suatu ketika dalam sejarah, ini adalah Kitab Suci yang dikenal oleh orang-orang Yahudi dan disebut Kitab Taurat atau Pentateuch.
Selama lebih dari 2000 tahun, nabi Musa dianggap sebagai penulis dari Kitab Taurat, oleh karena itu kitab ini sering disebut Kitab Nabi Musa dan sepanjang Alkitab ada referensi kepada "Hukum Nabi Musa". Tidak ada seorangpun yang dapat memastikan siapa yang menulis Kitab Taurat, tetapi tidak disangkal bahwa nabi Musa memegang peran yang unik dan penting dalam berbagai peristiwa-peristiwa yang terekam dalam kitab-kitab ini. Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa Alkitab adalah hasil inspirasi Ilahi dan karenanya identitas para manusia pengarangnya tidaklah penting.
Nabi Musa menaruh satu set kitab di dalam Tabut Perjanjian (The Ark of The Covenant) kira-kira 3300 tahun yang lalu. Lama kemudian Kitab Para Nabi dan Naskah-naskah ditambahkan kepada Kitab Taurat dan membentuk Kitab-kitab Perjanjian Lama. Kapan tepatnya isi dari Kitab-kitab Perjanjian Lama ditentukan dan dianggap sudah lengkap, tidaklah diketahui secara pasti. Yang jelas, setidaknya sejak lebih dari 100 tahun sebelum kelahiran Kristus, Kitab-kitab Perjanjian Lama sudah ada seperti umat Katolik mengenalnya sekarang.
Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew) bagi Israel, umat pilihan Allah. Tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka kehilangan bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani (Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional. Oleh karena itu menjadi penting kiranya untuk menyediakan bagi mereka, terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Pada waktu itu di Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) proyek penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 70 atau 72 ahli-kitab Yahudi - menurut tradisi - 6 orang dipilih mewakili setiap dari 12 suku bangsa Israel. Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuagint, yaitu dari kata Latin yang berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah penterjemah. Kitab ini sangat populer dan diakui sebagai Kitab Suci resmi (kanon Alexandria) kaum Yahudi diaspora (=terbuang), yang tinggal di wilayah Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu Ibrani adalah bahasa yang nyaris mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint adalah terjemahan yang digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani.
Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap umat Kristen. Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon (=standard) Kitab Suci mereka: [1] Ditulis dalam bahasa Ibrani; [2] Sesuai dengan Kitab Taurat; [3] lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM); [4] dan ditulis di Palestina. Atas kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak diatas.
Gereja Kristen tidak menerima hasil keputusan rabbi-rabbi Yahudi ini dan tetap terus menggunakan Septuagint. Pada konsili di Hippo tahun 393 Masehi dan konsili Kartago tahun 397 Masehi, Gereja secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari kanon Alexandria sebagai kanon bagi Kitab-kitab Perjanjian Lama. Selama enam belas abad, kanon Alexandria diterima secara bulat oleh Gereja. Masing-masing dari tujuh kitab yang ditolak oleh konsili Jamnia, dikutip oleh para Bapa Gereja perdana (Church Fathers) sebagai kitab-kitab yang setara dengan kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Lama. Bapa-bapa Gereja, beberapa diantaranya disebutkan disini: St. Polycarpus, St. Irenaeus, Paus St. Clement, dan St. Cyprianus adalah para pemimpin spiritual umat Kristen yang hidup pada abad-abad pertama dan tulisan-tulisan mereka - meskipun tidak dimasukkan dalam Perjanjian Baru - menjadi bagian dari Deposit Iman. Tujuh kitab berikut dua tambahan kitab yang ditolak tersebut dikenal oleh Gereja Katolik sebagai Deuterokanonika (second-listed), atau kanon kedua. Disebut demikian karena disertakan dalam kanon Kitab Suci setelah melalui banyak perdebatan.
GEREJA KATOLIK MENDAHULUI KITAB PERJANJIAN BARU
Seperti Kitab-kitab Perjanjian Lama, Kitab-kitab Perjanjian Baru juga tidak ditulis oleh satu orang, tetapi adalah hasil karya setidaknya delapan orang. Kitab Perjanjian Baru terdiri dari 4 kitab Injil, 14 surat Rasul Paulus, 2 surat Rasul Petrus, 1 surat Rasul Yakobus, 1 surat Rasul Yudas, 3 surat Rasul Yohanes dan Wahyu Rasul Yohanes dan Kisah Para Rasul yang ditulis oleh Santo Lukas, yang juga menulis Kitab Injil yang ketiga. Sejak kitab Injil yang pertama yaitu Injil Matius sampai kitab Wahyu Yohanes, ada kira-kira memakan waktu 50 tahun. Tuhan Yesus sendiri, sejauh yang kita ketahui, tidak pernah menuliskan satu barispun dari kitab Perjanjian Baru. Dia tidak pernah memerintahkan para Rasul untuk menuliskan apapun yang diajarkan oleh-Nya. Melainkan Dia berkata: "Maka pergilah dan ajarlah segala bangsa" (Matius 28:19-20), "Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku" (Lukas 10:16).
Apa yang Yesus perintahkan kepada mereka persis sama seperti apa yang Yesus sendiri lakukan: menyampaikan Firman Allah kepada orang-orang melalui kata-kata, meyakinkan, mengajar, dan menpertobatkan mereka dengan bertemu muka. Jadi bukan melalui sebuah buku yang mungkin bisa rusak dan hilang, dan disalah tafsirkan dan diubah-ubah isinya, melainkan melalui cara yang lebih aman dan alami dalam menyampaikan firman yaitu dari mulut ke mulut. Demikianlah para Rasul mengajar generasi seterusnya untuk melakukan hal yang serupa setelah mereka meninggal. Oleh karena itu melalui Tradisi seperti inilah Firman Allah disampaikan kepada generasi-generasi umat Kristen sebagaimana pertama kali diterima oleh para Rasul.
Tidak satu barispun dari kitab-kitab Perjanjian Baru dituliskan sampai setidaknya 10 tahun setelah wafatnya Kristus. Yesus disalibkan pada circa tahun 33 dan kitab Perjanjian Baru yang pertama ditulis yaitu surat 1 Tesalonika baru ditulis sekitar tahun 50 Masehi. Sedangkan kitab terakhir yang ditulis yaitu kitab Wahyu Yohanes pada sekitar 90-100 Masehi. Jadi anda bisa melihat kesimpulan penting disini: Gereja dan iman Katolik sudah ada sebelum Alkitab dijadikan. Beribu-ribu orang bertobat menjadi Kristen melalui khotbah para Rasul dan missionaris di berbagai wilayah, dan mereka percaya kepada kebenaran Ilahi seperti kita percaya sekarang, dan bahkan menjadi orang-orang kudus tanpa pernah melihat ataupun membaca satu kalimatpun dari kitab Perjanjian Baru. Ini karena alasan yang sederhana yaitu bahwa pada waktu itu Alkitab seperti yang kita kenal, belum ada. Jadi, bagaimanakah mereka menjadi Kristen tanpa pernah melihat Alkitab? Yaitu dengan cara yang sama orang non-Kristen menjadi Kristen pada masa kini, yaitu dengan mendengar Firman Allah dari mulut para misionaris.
GEREJA KATOLIK MENETAPKAN KITAB PERJANJIAN BARU
Ke-dua puluh tujuh kitab diterima sebagai Kitab Suci Perjanjian Baru baik oleh umat Kristen Katolik maupun Kristen lain. Pertanyaannya adalah: Siapa yang memutuskan kanonisasi Perjanjian Baru sebagai kitab-kitab yang berasal dari inspirasi Allah? Kita tahu bahwa Alkitab tidak jatuh dari langit, jadi darimana kita tahu bahwa kita bisa percaya kepada setiap kita-kitab tersebut?
Berbagai uskup membuat daftar kitab-kitab yang diakui sebagai inspirasi Ilahi, diantaranya: [1] Mileto, uskup Sardis pada tahun 175 Masehi; [2] Santo Irenaeus, uskup Lyons - Perancis pada tahun 185 Masehi; [3] Eusebius, uskup Caesarea pada tahun 325 Masehi.
Pada tahun 382 Masehi, didahului oleh Konsili Roma, Paus Damasus menulis dekrit yang menulis daftar kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang terdiri dari 73 kitab.
Konsili Hippo di Afrika Utara pada tahun 393 menetapkan ke 73 kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Konsili Kartago di Afrika Utara pada tahun 397 menetapkan kanon yang sama untuk Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Catatan: Ini adalah konsili yang dianggap oleh banyak pihak non-Katolik sebagai yang menentukan bagi kanonisasi kitab-kitab dalam Perjanjian Baru.
Paus Santo Innocentius I (401-417) pada tahun 405 Masehi menyetujui kanonisasi ke 73 kitab-kitab dalam Alkitab dan menutup kanonisasi Alkitab.
Jadi kanonisasi Alkitab telah ditetapkan di abad ke empat oleh konsili-konsili Gereja Katolik dan para Paus pada masa itu. Sebelum kanon Alkitab ditetapkan, ada banyak perdebatan. Ada yang beranggapan bahwa beberapa kitab Perjanjian Baru seperti surat Ibrani, surat Yudas, kitab Wahyu, dan surat 2 Petrus, adalah bukan hasil inspirasi Allah. Sementara pihak lain berpendapat bahwa beberapa kitab yang tidak dikanonisasi seperti: Gembala Hermas, Injil Petrus dan Thomas, surat-surat Barnabas dan Clement adalah hasil inspirasi Allah. Keputusan resmi wewenang Gereja Katolik menyelesaikan hal diatas sampai sekitar 1100 tahun kemudian. Hingga jaman Reformasi Protestan, praktis tidak ada lagi perdebatan akan kitab-kitab dalam Alkitab.
Melihat sejarah, Gereja Katolik menggunakan wibawa dan kuasanya untuk menentukan kitab-kitab yang mana yang termasuk dalam Alkitab dan memastikan bahwa segala yang tertulis dalam Alkitab adalah hasil inspirasi Allah. Jika bukan karena Gereja Katolik, maka umat Kristen tidak akan dapat mengetahui yang mana yang benar.
KITAB VULGATA - KARYA SANTO YEREMIA
Ketika Kabar Gembira telah tersebar luas dan banyak orang menjadi Kristen, merekapun dibekali dengan terjemahan Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa asli mereka yaitu Armenia, Siria, Koptik, Arab dan Ethiopia bagi umat Kristen perdana di wilayah-wilayah ini. Bagi umat Kristen di Afrika dimana bahasa Latin paling luas digunakan, ada terjemahan kedalam bahasa Latin yang dibuat sekitar tahun 150 Masehi dan juga terjemahan berikutnya bagi umat di Italia. Akan tetapi semua ini akhirnya digantikan oleh karya besar yang dibuat oleh Santo Yeremia dalam bahasa Latin yang disebut "Vulgata" pada abad ke-empat. Pada masa itu ada kebutuhan besar akan Kitab Suci dan ada bahaya karena variasi terjemahan yang ada. Oleh karena itu sang biarawan, yang mungkin pada waktu itu adalah orang yang paling terpelajar, atas perintah Paus Santo Damascus pada tahun 382, membuat terjemahan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Latin dan mengoreksi versi-versi yang ada dalam bahasa Yunani. Lantas di Bethlehem antara tahun 392-404, dia juga menterjemahkan Kitab-kitab Perjanjian Lama langsung dari bahasa Ibrani (jadi bukan dari Septuagint) kedalam bahasa Latin, kecuali kitab Mazmur yang direvisi dari versi Latin yang sudah ada. Ini adalah Alkitab lengkap yang diakui resmi oleh wewenang Gereja Katolik, yang nilainya tak terukur menurut para ahli alkitab masa kini, dan terus mempengaruhi versi-versi lainnya sampai pada jaman Reformasi Protestan. Dari Vulgata inilah dihasilkan terjemahan dalam bahasa Inggris yang terkenal yaitu Douai-Rheims Bible.
HILANGNYA KITAB-KITAB ASLI
Hingga ditemukannya mesin cetak pada tahun 1450, semua Alkitab adalah hasil salinan tangan yang kita sebut manuskrip. Alkitab lengkap tertua yang masih ada hingga sekarang berasal dari abad ke-empat, dan isinya sama dengan Alkitab yang dipegang oleh umat Katolik yaitu terdiri dari 73 kitab. Apa yang terjadi dengan manuskrip-manuskrip asli yang ditulis oleh para penulis kitab Injil? Ada beberapa alasan akan hilangnya kitab-kitab asli tersebut:
Beberapa ratus tahun pertama adalah masa-masa penganiayaan terhadap umat Kristen. Para penguasa yang menindas Gereja Katolik menghancurkan segala hal yang menyangkut Kristenitas yang bisa mereka temukan. Selanjutnya, kaum pagan (non-Kristen) juga secara berulang-ulang menyerang kota-kota dan perkampungan Kristen dan membakar dan menghancurkan gereja dan segala benda-benda religius yang dapat mereka temukan disana. Lebih jauh lagi, mereka bahkan memaksa umat Kristen untuk menyerahkan kitab-kitab suci dibawah ancaman nyawa, lantas membakar kitab-kitab tersebut.
Alasan lainnya: media yang dipakai untuk menuliskan ayat-ayat Alkitab, disebut papirus - sangat mudah hancur dan tidak tahan lama, sedangkan perkamen, yang terbuat dari kulit binatang dan lebih tahan lama, sulit didapat. Kedua materi inilah yang disebutkan dalam 2 Yohanes 1:12 dan 2 Timotius 4:13. Umat Kristen perdana, setelah membuat salinan Alkitab, juga tampak tidak terlalu peduli untuk menjaga kitab aslinya. Mereka tidak beranggapan penting untuk memelihara tulisan-tulisan asli oleh Santo Paulus atau Santo Matius oleh karena mereka percaya penuh kepada kuasa mengajar Gereja Katolik yang mengajarkan iman Kristen melalui para Paus dan para uskup-uskupnya. Umat Katolik tidak melandaskan ajaran-ajarannya pada Alkitab semata-mata, tetapi juga kepada Tradisi Hidup, dari Gereja Katolik yang infallible. ubi Ecclesia, ibi Christus.
ALKITAB PADA ABAD PERTENGAHAN
Segenap umat Kristen berhutang budi kepada para kaum religius, imam, biarawan dan biarawati yang menyalin, memperbanyak, memelihara dan menyebar-luaskan Alkitab selama berabad-abad. Para biarawan adalah kaum yang paling terpelajar pada jamannya dan salah satu kegiatan utama mereka adalah menyalin isi Alkitab sedangkan biara-biara menjadi pusat penyimpanan naskah-naskah Alkitab ini. Umumnya masing-masing biara-biara di abad pertengahan memiliki perpustakaan tersendiri. Tidak kurang dari para raja dan kaum bangsawan dan orang-orang terkenal meminjam dari biara-biara ini. Para raja dan kaum bangsawan itu sendiri, bersama para Paus, uskup dan kepala-kepala biara, sering menghadiahkan Kitab Suci yang diberi hiasan yang indah kepada biara-biara dan gereja-gereja di seluruh Eropa.
Untuk menyalin satu Alkitab lengkap, diperlukan sekurangnya 10 bulan tenaga kerja dan sejumlah besar perkamen yang mahal harganya untuk memuat lebih dari 35000 ayat-ayat dalam Alkitab. Hal ini menjelaskan mengapa orang banyak tidak mampu memiliki setidaknya satu set Alkitab lengkap di rumah-rumah mereka. Mereka biasanya hanya memiliki salinan dari sejumlah pasal dalam Alkitab yang populer. Jadi kebiasaan memiliki bagian tertentu dari Alkitab secara terpisah adalah kebiasaan yang sepenuhnya Katolik dan yang hingga kini masih dilakukan.
Alkitab pada abad pertengahan umumnya ditulis dalam bahasa Latin. Hal ini dilakukan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menyulitkan umat yang ingin membacanya. Kebanyakan orang pada masa itu buta huruf, sedangkan mereka yang mampu membaca, juga dapat mengerti bahasa Latin. Latin adalah bahasa universal pada waktu itu. Mereka yang mampu membaca lebih menyukai membaca Vulgata, versi Latin dari Alkitab. Oleh karena kenyataan tersebut, tidak ada alasan kuat untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa setempat secara besar-besaran. Namun meski demikian harap diingat bahwa sepanjang sejarah Gereja Katolik tetap menyediakan terjemahan Alkitab dalam bahasa-bahasa setempat.
MARTIN LUTHER DAN ALKITAB PROTESTAN
Pada tahun 1529, Martin Luther mengajukan kanon Palestina yang menetapkan 39 kitab dalam bahasa Ibrani sebagai kanon Perjanjian Lama. Luther mencari pembenaran dari keputusan konsili Jamnia (yang adalah konsili imam Yahudi, jadi bukan sebuah konsili Gereja Kristen!) bahwa tujuh kitab yang dikeluarkan dari Perjanjian Lama tidak memiliki kitab-kitab aslinya dalam bahasa Ibrani. Luther melakukan hal tersebut terutama karena sejumlah ayat-ayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut justru menguatkan doktrin-doktrin Gereja Katolik dan bertentangan dengan doktrin-doktrin baru yang dikembangkan oleh Martin Luther sendiri.
Oleh karena alasan yang serupa, Martin Luther juga nyaris membuang beberapa kitab-kitab lainnya: surat Yakobus, surat Ibrani, kitab Ester dan kitab Wahyu. Hanya karena bujukan kuat oleh para pendukung kaum reformasi Protestan yang lebih konservatif maka kitab-kitab diatas tetap dipertahankan dalam Alkitab Protestan. Namun demikian, tidak kurang Martin Luther mengecam bahwa surat Yakobus tidak pantas dimasukkan dalam Alkitab.
Untuk mendukung salah satu doktrinnya yang terkenal yaitu Sola Fide (bahwa kita dibenarkan hanya oleh iman saja), dalam Alkitab terjemahan bahasa Jerman, Martin Luther menambahkan kata 'saja' pada surat Roma 3:28. Sehingga ayat tersebut berbunyi: "Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman saja, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat". Tidak heran kalau Martin Luther meremehkan surat Rasul Yakobus dan berusaha untuk membuangnya dari Perjanjian Baru, karena justru dalam surat Yakobus ada banyak ayat yang menjatuhkan doktrin Sola Fide yang diciptakan oleh Martin Luther tersebut. Antara lain, dalam Yakobus 2:14-15 tertulis: "Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?" dan Yakobus 2:17 "Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati" dan Yakobus 2:24 "Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman."
Pertanyaannya sekarang adalah: Kitab Perjanjian Lama manakah yang lebih baik anda baca? Kitab Perjanjian Lama yang digunakan oleh Yesus, para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru dan Gereja purba? Atau Kitab Perjanjian Lama yang ditetapkan oleh imam-imam Yahudi yang menolak Yesus Kristus dan menindas umat Kristen purba?
ALKITAB KATOLIK
Bahkan sebelum pecahnya Reformasi Protestan, ada banyak versi-versi Alkitab yang beredar pada masa itu. Banyak diantaranya mengandung kesalahan-kesalahan yang disengaja - seperti dalam kasus-kasus kaum bidaah, penyeleweng ajaran gereja yang berusaha mendukung doktrin-doktrin yang mereka ciptakan sendiri, dengan menuliskan Alkitab yang sudah diganti-ganti isinya. Ada juga kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja oleh karena faktor manusia (human error), mengingat pekerjaan menyalin Alkitab dilakukan dengan tulisan tangan, ayat demi ayat, yang sangat memakan waktu dan tenaga.
Oleh karena itu pada Konsili di Florence pada abad ke lima belas, para pemimpin Gereja menguatkan keputusan yang dibuat pada konsili-konsili sebelumnya mengenai kitab-kitab yang ada dalam Alkitab.
Setelah meletusnya Reformasi Protestan, pada Konsili Trente oleh Gereja Katolik pada tahun 1546 dikeluarkanlah dekrit yang mensahkan Vulgata, versi Latin dari Alkitab sebagai satu-satunya versi resmi yang diakui dan sah untuk umat Katolik. Alkitab ini direvisi oleh Paus Sixtus V pada tahun 1590 dan juga oleh Paus Clement VIII pada tahun 1593.
Selanjutnya pada konsili Vatikan I, kembali Gereja Katolik menegaskan keputusan konsili-konsili sebelumnya tentang Alkitab.
Oleh karena itu di akhir tulisan ini, kita dapat membuat beberapa kesimpulan:
Berdasarkan sejarah, Alkitab adalah sebuah kitab Katolik. Perjanjian Baru ditulis, disalin dan dikoleksi oleh umat Kristen Katolik. Kanon resmi dari kitab-kitab yang membentuk Alkitab - Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru - ditentukan secara berwibawa oleh wewenang Gereja Katolik pada abad ke empat.
Menuruti akal sehat dan logika, Gereja Katolik yang memiliki kuasa untuk menentukan Firman Allah yang infallible - bebas dari kesalahan -, pasti juga memiliki otoritas yang infallible - bebas dari kesalahan - dan juga bimbingan dari Roh Kudus. Seperti telah anda lihat, terlepas dari deklarasi oleh Gereja Katolik, kita sama sekali tidak memiliki jaminan bahwa apa yang tertulis dalam Alkitab adalah Firman Allah yang asli. Jika anda percaya kepada isi Alkitab maka anda juga harus percaya kepada wibawa Gereja Katolik yang menjamin keaslian Alkitab. Adalah suatu kontradiksi bagi seseorang untuk menerima kebenaran Alkitab tetapi menolak wibawa Gereja Katolik. Logikanya, mereka mestinya tidak mengutip isi Alkitab sama sekali, karena mereka tidak memiliki pegangan untuk menentukan kitab-kitab mana saja yang asli, kecuali tentunya kalau mereka menerima wibawa mengajar Gereja Katolik.
TANYA - JAWAB
Pertanyaan: Mengapa Alkitab umat Katolik terdiri dari 73 kitab sedangkan Alkitab umat Protestan terdiri dari 66 kitab?Jawaban: Gereja Katolik melandaskan Perjanjian Lama pada Kanon Alexandria - lebih dari satu abad sebelum kelahiran Yesus Kristus - yang menetapkan 43 kitab yang disebut Septuagint sebagai kitab-kitab Perjanjian Lama. Protestan melandaskan Perjanjian Lama pada Kanon Palestina yang diadakan oleh imam-imam Yahudi untuk memerangi umat Kristen, sekitar tahun 100 Masehi. Perlu dicatat bahwa baik Yesus maupun para murid-muridNya menggunakan Septuagint yaitu berdasarkan Kanon Alexandria. Tidakkah anda sebagai umat Kristen, mestinya memakai Kitab Perjanjian Lama yang dipergunakan oleh Yesus dan para murid-muridNya, dan bukan malahan menggunakan versi Perjanjian Lama yang ditetapkan oleh para imam Yahudi yang ditetapkan puluhan tahun setelah wafat dan kebangkitan Yesus?
Pertanyaan: Benarkah bahwa Gereja Katolik pernah melarang umat Kristen untuk membaca Alkitab dan apakah benar bahwa atas berkat jasa Martin Luther maka umat Katolik sekarang boleh membaca Alkitab?Jawaban: Satu-satunya kejadian dalam sejarah Gereja menyangkut larangan kaum awam membaca/memiliki Alkitab dikeluarkan hanya oleh beberapa uskup di Perancis pada abad ke-13 untuk memerangi kaum bidaah Albigensian di Perancis. Larangan itu dihapuskan 40 tahun kemudian setelah pupusnya pendukung bidaah tersebut. Jadi wewenang Gereja Katolik tidak pernah mengeluarkan larangan kepada umat Katolik untuk membaca Alkitab. Apalagi anggapan bahwa Martin Luther memiliki jasa apapun atas Gereja Katolik. Ada dongeng yang mengisahkan bahwa Martin Luther-lah yang "menemukan" Alkitab. Tapi kalau anda membaca buku-buku sejarah gereja yang berbobot, maka anda akan menemukan bahwa justru Martin Luther-lah yang bertanggung jawab menghapuskan kitab-kitab Deuterokanonika dari Perjanjian Lama, dan bahkan nyaris menghapuskan lebih banyak lagi kitab-kitab dari dalam Alkitab.
Pertanyaan: Benarkah bahwa Gereja Katolik mempersulit umat Kristen untuk membaca Alkitab dengan hanya menyediakan terjemahan dalam bahasa Latin?Jawaban: Pada waktu itu, orang yang mampu membaca, juga mampu membaca Latin. Karena Latin adalah bahasa internasional pada jaman itu. Lebih jauh lagi, Vulgata, versi Latin dari Alkitab hasil karya Santo Yeremia amat digemari oleh umat Kristen. Jadi tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk menyediakan Alkitab dalam berbagai bahasa. Namun demikian ada juga terjemahan Kitab Suci dalam bahasa-bahasa setempat.
Pertanyaan: Benarkah bahwa Gereja Katolik pernah membakar Alkitab?Jawaban: Selama berabad-abad Gereja dilanda oleh berbagai bidaah (heresy). Para pendukung bidaah menggunakan Alkitab yang sudah diselewengkan isinya untuk mendukung doktrin-doktrin mereka sendiri. Gereja Katolik sebagai penjaga keaslian Alkitab juga berhak dan berwibawa untuk memastikan bahwa umat Kristen memiliki Alkitab yang isinya tidak dikorupsi demi kepentingan sekelompok orang. Oleh karena itu otoritas Gereja Katolik memusnahkan alkitab-alkitab yang isinya mengandung kesalahan ini dan sebagai gantinya menyediakan Alkitab yang murni isinya. Martin Luther bukan satu-satunya orang yang pernah mengubah isi Alkitab.
Pertanyaan: Jika penggunaan Alkitab meluas pada abad-abad pertengahan, mengapa hanya sedikit kitab-kitab kuno ini yang tertinggal?Jawaban: Ada beberapa alasan. Pertama, ada banyak terjadi peperangan sehingga banyak manuskrip-manuskrip kuno ini ikut musnah. Kedua, media yang dipergunakan mudah rusak dan tidak tahan lama. Ketiga, pengrusakan besar-besaran yang dilakukan dengan sengaja seperti pada masa pecahnya reformasi Protestan. Kaum pendukung reformasi Protestan menghancurkan segala hal yang berbau Katolik. Gereja-gereja, biara-biara, tempat-tempat ziarah beserta penghuni dan semua isinya yang bernilai tinggi menjadi korban pergolakan.
Pertanyaan: Mengapa kitab-kitab yang ditolak dari Perjanjian Lama oleh imam-imam Yahudi itu disebut sebagai Deuterokanonika?Jawaban: Deuterokanonika artinya kira-kira kanon kedua. Disebut demikian karena disertakan setelah melalui banyak perdebatan. Santo Yeremia sendiri pernah mengutarakan kekhawatirannya akan keaslian kitab-kitab tersebut. Akan tetapi keputusan konsili-konsili Gereja Katolik dan para Paus menghentikan perdebatan dan menghapus kekhawatiran para ahli teologi pada masa itu. Santo Agustinus dari Hippo - salah satu Bapa dan Pujangga Gereja - pernah mengatakan begini: "Aku tidak akan meletakkan imanku pada kitab Injil, jika bukan karena otoritas Gereja Katolik yang mengarahkan aku untuk berbuat demikian." Bahwa keputusan Gereja Katolik untuk tetap mempertahankan kitab-kitab Deuterokanonika dan mengabaikan Kanon Palestina, menunjukkan bimbingan Roh Kudus yang membawa kepada segala kebenaran (Yohanes 16:13). Ketika Gulungan-gulungan Laut Mati (Dead Sea Scrolls) ditemukan di Qumran, tepi barat sungai Yordan pada abad ke-20 ini, diantaranya terdapat sebagian salinan-salinan asli dalam bahasa Ibrani atas sejumlah kitab-kitab Deuterokanonika.
Pertanyaan: Mengapa disebutkan bahwa Deuterokanonika terdiri dari tujuh kitab sedangkan dalam Alkitab bahasa Indonesia yang saya miliki ada sepuluh bagian dalam Deuterokanonika?Jawaban: Tujuh kitab-kitab tersebut adalah Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, Barukh, 1 Makabe dan 2 Makabe. Tambahan-tambahan pada kitab Ester dan Daniel tentunya dimasukkan kedalam kitab-kitab yang bersangkutan sedangkan Surat Nabi Yeremia dimasukkan sebagai pasal 6 dari kitab Barukh. Dalam Alkitab bahasa Indonesia terbitan Lembaga Alkitab Indonesia, kitab-kitab Deuterokanonika diletakkan ditengah, jadi tidak sesuai urutan yang semestinya. Ini untuk memudahkan penerbit yang sama menerbitkan Alkitab versi Protestan, yaitu tanpa Deuterokanonika. Jika anda membeli Alkitab dalam bahasa Inggris seperti di Amerika contohnya, kitab-kitab Deuterokanonika dimasukkan dalam urutannya yang alami. Perlu juga disebutkan disini bahwa versi-versi Alkitab Protestan pada awalnya - seperti versi asli King James Bible - masih memiliki Deuterokanonika di dalamnya.
Pertanyaan: Ada berapakah versi Alkitab dalam bahasa Inggris?Jawaban: Dalam bahasa Inggris, ada beberapa versi Alkitab baik bagi umat Katolik maupun Protestan. Bagi umat Katolik ada versi RSVCE (Revised Standard Version Catholic Edition) yang dipakai sebagai terjemahan resmi. Ada NAB (New American Bible) yaitu yang merupakan Alkitab yang populer di kalangan umat Katolik di Amerika Serikat. Ada juga NJB (New Jerusalem Bible) yaitu Alkitab yang diterjemahkan dari bahasa Ibrani dan dipakai oleh sebagian kalangan Gereja Katolik dari ritus-ritus Timur. RSVCE adalah versi yang paling serupa dengan bahasa asli kitab suci karena merupakan terjemahan kata-demi-kata. Sedangkan NAB dan NJB serta beberapa versi lainnya merupakan terjemahan yang sudah disesuaikan dengan pemakaian bahasa Inggris pada masa kini, jadi penekanan pada segi arti dari kata-kata/kalimat yang dipakai pada bahasa asli kitab suci. Beberapa versi Alkitab Protestan, diantaranya adalah: RSV (Revised Standard Version), KJV (King James Version), NIV (New International Version), Tyndale Bible dan Zonderfan Bible. Untuk mengenalinya mudah saja, di dalamnya tidak terdapat kitab-kitab Deuterokanonika. Sebetulnya ada juga yang menyertakan kitab-kitab Deuterokanonika, yaitu yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit sekuler seperti Oxford dan lain-lain. Namun mereka menyebut Deuterokanonika dengan sebutan Apokrif (Apocripha). Alkitab-alkitab Katolik juga memiliki Imprimatur dan Nihil-Obstat yang dapat anda temukan pada bagian muka dari Alkitab tersebut. Ini praktisnya adalah tanda bahwa buku yang bersangkutan telah diperiksa oleh Gereja Katolik, apakah itu imam ataupun uskup. Jika anda ingin memiliki Alkitab Katolik bahasa Inggris, silakan membeli salah satu versi Katolik yang telah disebutkan diatas. Alkitab NAB selalu memiliki catatan kaki yang membantu memperjelas ayat-ayat dan perikop-perikop dalam Kitab Suci. NAB study-bible terbitan Oxford juga dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan sejarah PL dan PB. Harga Alkitab NAB bahasa Inggris bervariasi sekitar US$7 sampai US$24.
Pertanyaan: Ada sementara orang yang percaya bahwa di dalam Alkitab umat Kristiani telah terjadi salah terjemahan yang sangat fatal: yaitu kata "Lord" dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai "Tuhan" dalam bahasa Indonesia, padahal kamus Inggris-Indonesia menyebutkan bahwa kata "lord" mestinya diterjemahkan sebagai "tuan", bukan "Tuhan". Dengan demikian hal ini mendukung teori agama mereka yang mengatakan bahwa Yesus jelas bukan Tuhan dan sekedar manusia biasa.Jawaban: Pertama-tama perlu ditegaskan disini, bahwa Alkitab bahasa Indonesia tidaklah diterjemahkan dari Alkitab bahasa Inggris. Lihatlah pada bagian awal Alkitab dimana tertulis bahwa "Teks Perjanjian Lama diterjemahkan dari Bahasa Ibrani. Teks Perjanjian Baru diterjemahkan dari Bahasa Yunani. Teks Deuterokanonika diterjemahkan dari Bahasa Yunani". Kedua, perlu diketahui bagi orang Indonesia yang jelas bukan native English speaker - bahwa kata "Lord" dalam Alkitab berarti "God" atau "Tuhan". Kata "Lord" bukan hanya digunakan pada Yesus, tetapi juga pada Allah Bapa dalam ayat-ayat Perjanjian Lama.
Penulis : Jeffry Komala
Nara sumber:[1] Where We Got The Bible: Our Debt to the Catholic Church, 22nd edition, by The Right Rev. Henry G. Graham, published by Tan Books & Publishers, Inc.;[2] Beginning Apologetics 1: How to Explain and Defend The Catholic Faith, by Father Frank Chacon and Jim Burnham, published by San Juan Catholic Seminars;[3] The Catholic Bible (NAB): Personal Study Edition, published by Oxford University Press;[4] Berbagai situs web Katolik di Internet.
Rekomendasi bacaan: A History of Christendom (6 volumes), by Warren H. Carroll.
Sumber inspirasi: The Catholic Answer lay apostolate. Website: http://www.catholic.com

Jumat, 25 Januari 2008

Rabu Abu :

Asal Mula Perayaan & Penggunaan Abu
oleh: Romo William P. Saunders *
Seorang teman Protestan bertanya mengapa orang Katolik mengenakan abu pada hari Rabu Abu. Bagaimanakah asal mula perayaan dan penggunaan abu?
seorang pembaca di Purcellville
Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan sesal / tobat. Sebagai contoh, dalam Buku Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est 4:1). Ayub (yang kisahnya ditulis antara abad ketujuh dan abad kelima SM) menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6). Dalam nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550 SM) menulis, "Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu." (Dan 9:3). Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6). Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu dan pengertian umum akan makna yang dilambangkannya.
Yesus Sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, "Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu." (Mat 11:21)*
Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya "De Poenitentia", Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah "hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu." Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya "Sejarah Gereja" bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga, dalam masa yang sama, bagi mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepala mereka setelah pengakuan.
Dalam abad pertengahan (setidak-tidaknya abad kedelapan), mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan "Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu." Setelah memercikkan air suci, imam bertanya, "Puaskah engkau dengan kain kabung dan abu sebagai pernyataan tobatmu di hadapan Tuhan pada hari penghakiman?" Yang mana akan dijawab orang tersebut dengan, "Saya puas." Dalam contoh-contoh di atas, tampak jelas makna abu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian dan tobat.
Akhirnya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paskah. Ritual perayaan "Rabu Abu" ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad kedelapan. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya, "Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaskah kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaskah." Setidak-tidaknya sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaskah, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita.
Dalam liturgi kita sekarang, dalam perayaan Rabu Abu, kita mempergunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat beriman dengan membuat tanda salib dan berkata, "Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu," atau "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil." Sementara kita memasuki Masa Prapaskah yang kudus ini guna menyambut Paskah, patutlah kita ingat akan makna abu yang telah kita terima: kita menyesali dosa dan melakukan silih bagi dosa-dosa kita. Kita mengarahkan hati kepada Kristus, yang sengsara, wafat dan bangkit demi keselamatan kita. Kita memperbaharui janji-janji yang kita ucapkan dalam pembaptisan, yaitu ketika kita mati atas hidup kita yang lama dan bangkit kembali dalam hidup yang baru bersama Kristus. Dan yang terakhir, kita menyadari bahwa kerajaan dunia ini segera berlalu, kita berjuang untuk hidup dalam kerajaan Allah sekarang ini serta merindukan kepenuhannya di surga kelak. Pada intinya, kita mati bagi diri kita sendiri, dan bangkit kembali dalam hidup yang baru dalam Kristus.
Sementara kita mencamkan makna abu ini dan berjuang untuk menghayatinya terutama sepanjang Masa Prapaskah, patutlah kita mempersilakan Roh Kudus untuk menggerakkan kita dalam karya dan amal belas kasihan terhadap sesama. Bapa Suci dalam pesan Masa Prapaskah tahun 2003 mengatakan, "Merupakan harapan saya yang terdalam bahwa umat beriman akan mendapati Masa Prapaskah ini sebagai masa yang menyenangkan untuk menjadi saksi belas kasih Injil di segala tempat, karena panggilan untuk berbelas kasihan merupakan inti dari segala pewartaan Injil yang sejati." Beliau juga menyesali bahwa "abad kita, sungguh sangat disayangkan, terutama rentan terhadap godaan akan kepentingan diri sendiri yang senantiasa berkeriapan dalam hati manusia . Suatu hasrat berlebihan untuk memiliki akan menghambat manusia dalam membuka diri terhadap Pencipta mereka dan terhadap saudara-saudari mereka."
Dalam Masa Prapaskah ini, tindakan belas kasihan yang tulus, yang dinyatakan kepada mereka yang berkekurangan, haruslah menjadi bagian dari silih kita, tobat kita, dan pembaharuan hidup kita, karena tindakan-tindakan belas kasihan semacam itu mencerminkan kesetiakawanan dan keadilan yang teramat penting bagi datangnya Kerajaan Allah di dunia ini.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : "Straight Answers: The Ashen Cross" by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

Rabu, 23 Januari 2008

siapa Tuhan?

Ada seorang raja yang mempunyai seorang rakyat yang pandai sekali.Dalam> dunia akademis sekarang dia disebut profesor.> Raja ini berkata,"coba prof,pikirkan Tuhan itu siapa,buat> rumusannya,ketentuan tentang sifat-sifatnya yang lengkap.Saya berikan 3> hari untuk memikirkannya.Si prof berpikir keras tentang sifat2nya dan> memikirkan bagaimana menerangkan tentang Tuhan seluruhnya.> Sesudah tiga hari tiba,dia menyatakan bhw dia tak mampu membuat perumusan> lengkap ttg Tuhan.Lalu dia diberi waktu 7 hari,tapi tak sanggup> juga.Waktunya membuat perumusan ditambah jadi satu bulan,tidak bisa> juga.Dan ahirnya si Prof menyerah dan berkata,"Ampun tuanku,walaupun > diberi> waktu tiga bulan atau seumur hidup,saya tdk bisa menerangkan siapa itu> Tuhan dengan tepat dan persis.>> Memang,Tuhan itu tidak terbatas,jadi bagaimana bisa dibatasi dengan> perumusan? Nosens. Ada yang bisa membuat perumusan?> Misalkan kita pergi kelaut.Kita ambil ember,lalu menciduk air > laut.Walaupun> kita terus ambil air laut,tapi air lautnya tdk akan bisa habis-habis.Kita> hanya bisa ambil air laut sedikit saja,kita tdk bisa ambil> seluruhnya.Inilah gambaran tentang Tuhan.Tuhan itu seperti samudra yang> luas sekali.>> Otak manusia terbatas,jadi tak bisa mengerti Tuhan sedalam-dalamnya,sebab> Tuhan itu tak terbatas.Ini seringkali menjadi kesulitan bagi kita.Apakah> kita mengerti mengapa jalan hidup kita begini? Kita tak bisa mengerti> seluruhnya sifat Tuhan.Antara Allah dan manusia ada jarak.Jadi jangan > coba> mengerti Tuhan sedalam-dalamnya.>> Ada seorang profesor yang pintar sekali.Dia mempunyai anak.Ketika dia> mengajarkan rumusan2 ilmiah di universitas,ada yang bertanya pada si anak> itu,"Kamu mengerti tidak apa yang diajarkan ayahmu?"> "Tidak,yang saya tahu adalah ayah mengasihi saya.Saya tdk perlu mengerti> semua yang diajarkannya.Yang penting saya mengasihi dia,dan dia mengasihi> saya.">> Sikap kita juga hendaknya seperti itu,kita tak perlu mengerti Tuhan> seluruhnya.Yang penting apakah kita mengasihi Tuhan?.Kalau Tuhan sdh > pasti> mengasihi kita.>> Tuhan itu Allah yang maha kuasa,Raja atas segala raja,yang melawan Tuhan> akan hancur.Waktu Firaun tdk mengizinkan orang Israel keluar dari> Mesir,Tuhan memukulnya 10 kali(Ingat sepuluh tulah).Ahirnya setelah> anak-anak sulung orang Mesir mati,barulah Firaun menyerah.> Tuhan menyatakan kuasanya langkah demi langkah,tahap demi tahap.Setelah> bangsa Israel pergi,Firaun masih mengejar lagi.Firaun melawan Tuhan,hingga> ahirnya bala tentaranya mati di laut.>> Percuma saja melawan kekuasaan Tuhan.Orang bisa pintar luar biasa dalam> kemajuan tehnologi sekarang,tapi kuasa Tuhan tdk bisa dilawan..> Yang penting kita harus mengakui Tuhan sebagai Allah kita.Dia mempunyai > hak> atas hidup kita,karena Dialah Allah kita.Itu sebabnya kita beragama.Dalam> agama yang benar,yang harus dilayani adalah Allah,bukan diri kita> sendiri.Melayani Allah bukan secara lahiriah saja,tetapi juga secara> bathiniah.Kalau cuma secara lahiriah saja melayani Tuhan,namanya> munafik.Tuhan kan memberikan pada kita badan dan jiwa,lahiriah dan> bathiniah.Kalau ada majikan datang keruang kerja kita dan kita> menghormatinya dengan berkata,"Selamat pagi pak",tapi kaki kita ditaruh di> atas meja,apakah itu berarti menghormati majikan? Mungkin majikan kita> marah dan kita dikeluarkan.Penghormatan kita harus dinyatakan dengan sikap> dan perbuatan,tidak cukup didalam hati saja atau di mulut saja.

Senin, 21 Januari 2008

KRITIK THOMAS AQUINAS ATAS (IMPLEMENTASI) OTONOMI KHUSUS DI TANAH PAPUA

Pembuka

Otonomi Khusus[1] (selanjutnya Otsus) Papua yang tertuang dalam Undang-undang (UU) No 21/2001, merupakan tanggapan yang ditawarakan Pemerintah Indonesia terhadap munculnya berbagai unjuk rasa sebagian masyarakat Papua menuntut kemerdekaan yang juga ditandai dengan pengibaran bendera Bintang Kejora di kota-kota kabupaten pada tahun 1998[2]. Bagi pemerintah Indonesia dan juga sebagian masyarakat Papua, Otsus diharapkan menjadi sarana dalam menjamin kesejahteraan dan keadilan rakyatnya. Akan tetapi setelah tiga tahun diberlakukannya Otsus, masyarakat Papua merasa bahwa mereka belumlah menikmati kesejahteraan dan keadilan. Puncak ketidakpuasan masyarakat Papua, yang dikoordinir oleh Dewan Adat Papua (DAP), diungkapkan dengan mengembalikan -secara simbolis- UU Otsus Papua kepada Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) melalui aksi damai yang dihadiri tidak kurang 10.000 massa pada tanggal 12 Agustus 2005 lalu[3].
Dalam kerangka analisis DAP, implementasi UU Otsus belum atau tidak mencapai tujuan sebenarnya, yakni kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan itu, “Thomas Aquinas merumuskan bahwa tujuan dari suatu hukum atau undang-undang tidak lain daripada kesejahteraan umum. Rakyat dalam suatu negara atau suatu daerah, haruslah menikmati kesejahteraan umum itu. Pemerintah yang tidak menjamin rakyatnya menikmati kesejahteraan umum adalah pemerintah yang mengkhianati mandat yang diembannya dan hal itu bertentangan dengan dirinya sendiri. Sebab pemerintah haruslah melaksanakan roda jalannya suatu negara demi kesejahteraan umum antara lain melalui hukum-hukumnya yang adil dan bijaksana. Kesejahteraan umum selain merupakan tujuan adanya suatu hukum atau undang-undang, juga merupakan suatu prasyarat adanya masyarakat atau negara yang memperhatikan rakyatnya. Kesejahteraan umum itu meliputi antara lain keadilan, perdamaian, ketenteraman hidup, keamanan dan jaminan bagi warganya”[4].
Menurut DAP, pemerintah Indonesia belumlah sungguh-sungguh mengimplementasikan Otsus secara konsekwen. Ada tiga fakta yang dikemukakan oleh DAP, yakni:
Pertama, di Tanah Papua ada hukum tanpa kepastian hukum. Sejumlah hukum dan peraturan yang dihasilkan oleh Pemerintah Indonesia baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah [seperti UU Otsus, Inpres No. 1/2003 tentang pemekaran, Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP), Peraturan Daerah Provinsi tentang MRP] dinilai sebagai media untuk memicu konflik rakyat.
Kedua, MRP sebagai representasi kultural yang menjadi jiwa dan semangat Otsus bagi Provinsi Papua, terlalu lama ditunda dan akan dibentuk berdasarkan PP No. 54 tahun 2004, dinilai tidak merepsentasikan Masyarakat Adat Papua yang terdiri dari 253 suku bangsa, dan dari 253 suku itu hanya diwakili oleh 14 orang.
Ketiga, masih banyak terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua meskipun Otsus sudah diberlakukan. Hal itu rupanya menjadi indikasi bahwa tatanan hukum dan aparatur pemerintah belum memiliki kewenangan dalam menata dan mengawasi kehadiran serta anggaran operasi militer di Tanah Papua. Di samping itu DAP juga menilai bahwa belum ada indikator-indikator yang jelas akibat diberlakukannya Otsus Papua, seperti: terjadinya peningkatan kesejahteraan rakyat Papua secara signifikan.[5]
Persoalan tersebut tentu saja menimbulkan pertanyaan, ada apa di balik semuanya itu? Mengapa UU Otsus belum atau tidak dapat diterapkan dengan semestinya sehingga mencapai tujuan yang sebenarnya, yakni kesejahteraan rakyat secara umum seperti yang dipikirkan oleh Thomas Aquinas? Hal inilah yang menjadi pokok permasalahan yang digumuli penulis dalam tulisan ini. Agar permasalahan ini tidak melebar luas, maka penulis hanya menyoroti fakta pertama yang dikemukakan oleh DAP, yakni adanya hukum tanpa kepastian hukum. Persoalan ini diteropong dari kerangka berpikir Thomas Aquinas yang mencetuskan hukum abadi yang menjadi dasar hukum kodrat dan berkait-erat dengan hukum positif karena sepantasnyalah hukum kodrat menjadi syarat legitimasi keberlakuan hukum positif. Pemikiran Thomas Aquinas ini, pada dasarnya merupakan kritik atas (implementasi) Otsus Papua yang tidak konsekuen. Dengan begitu tulisan ini dapat dijadikan acuan untuk menilai (implementasi) UU Otsus dalam menggapai maksud utama dari suatu undang-undang.
Demi terkuaknya kritik Thomas Aquinas atas implementasi UU Otsus, maka tulisan ini terdiri dari empat bagian pokok, yakni: pertama-tama diuraikanlah realitas pertentangan UU Otsus dengan UU Pemekaran. Dalam mengungkapkan realitas pertentangan ini, diuraikan secara sekilas tentang UU Otsus dan UU Pemekaran. Kedua, dikemukakanlah pemikiran Thomas Aquinas berkaitan dengan hukum. Selanjutnya pokok pemikiran Thomas ini pada dasarnya menyatakan secara tegas kritiknya atas Inpres No. 1/2003 dan UU No. 45/1999 tentang pemekaran Provinsi Papua. Itulah yang diperlihatkan pada bagian ketiga. Akhirnya bagian keempat, merupakan suatu kesimpulan bernada reflektif dari penulis berdasar sudut pandang “keselamatan”.


I. UU Otsus versus UU Pemekaran

A. Sekilas Tentang UU Otsus

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya UU No. 21/2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua merupakan pemberian kewenangan yang lebih luas kepada Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia[6]. Ada tiga isi mendasar yang terungkap dari UU No. 21/2001 tentang Otsus[7] tersebut, yakni:
1) Pengaturan kewenangan antara pemerintah pusat dengan Provinsi Papua, serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan.
2) Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dasar penduduk asli di Papua serta pemberdayaan secara strategis dan mendasar.
3) Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan berciri:
ä Partisipasi rakyat asli Papua yang sebesar-besarnya dalam perencanaan, pengawasan dan pelaksanaan dalam penyelanggaraan pemerintah.
ä Pelaksanaan pembangunan yang sebesarnya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua.
ä Pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat provinsi.
Dari hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Otsus di atas, tampak bahwa pemberian status Otsus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran bagi orang Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan provinsi lain di Indonesia.[8]
Namun tujuan Otsus di atas tidak dapat digapai, karena status Otsus yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia kepada rakyat di Provinsi Papua dinilai sebagai “otonomi setengah hati”[9]. Ketiga fakta [-yakni (1) masih banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua, (2) belum disahkannya MRP sebagai representasi kultural yang menjadi jiwa dan semangat Otsus bagi Provinsi Papua, (3) munculnya Inpres No. 1/2003 tentang pemekaran secara tiba-tiba[10]-] yang dikemukakan DAP tatkala mengembalikan UU Otsus secara simbolis kepada DPRP pada tanggal 12 Agustus 2005 lalu, merupakan bukti nyata pemerintah Indonesia memberikan “otonomi setengah hati”.


B. Seputar UU Pemekaran

1. Selayang Pandang Historisitas Munculnya UU Pemekaran

Pada tahun 1998, ratusan mahasiswa Papua dari Jawa dan Bali serta Ujung Pandang berhasil menduduki kantor perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jakarta. Demikian pula wakil-wakil Papua Barat, utusan dari setiap Kabupaten sebanyak 100 orang yang dikenal dengan sebutan tim 100, secara resmi diterima oleh Presiden B.J. Habibie di Istana Negara pada tanggal 26 Februari 1999. Pada pertemuan tersebut, tokoh masyarakat lewat ketua Tim 100, Thom Beanal, berkesempatan membacakan pernyataan politik rakyat Papua kepada Presiden Habibie. Salah satu dari isi pernyataan tersebut ialah bahwa rakyat Papua menghendaki untuk keluar dari Negara Republik Indonesia dan membentuk sebuah negara yang berdaulat penuh.
Pada tanggal 4 Oktober 1999 Presiden Habibie menandatangi UU No. 45/1999 untuk memberikan dasar hukum bagi Pemerintah Provinsi Irian Jaya menjadi tiga Provinsi yaitu Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Timur. Presiden RI juga mengeluarkan SK yang menetapkan dua Gubernur untuk Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah masing-masing Abraham Oktavianus Atururi dan Herman Monim, yang sebelumnya menjabat sebagai wakil-wakil Gubernur Irian Jaya. Keputusan diberlakukannya UU No. 45/1999 sebagai wujud dari respon Pemerintah RI atas jawaban dari hasil renungan yang disampaikan oleh Presiden Habibie kepada tim 100 di Istana Negara.
Gelombang aspirasi sebagian masyarakat Papua baik yang ada di Papua maupun yang ada di luar Papua untuk menolak pemekaran pun bergejolak. Akhirnya melalui Sidang Paripurna dengan keputusan DPRD Provinsi Papua No. 11/1999, secara resmi memutuskan Pemekaran Propinsi Papua dibatalkan karena tidak sesuai dengan aspirasi rakyat Papua.[11]
Demi meredam aspirasi rakyat Papua yang menginginkan kemerdekaan, terpisah dari NKRI dengan menolak pemekaran provinsi, maka pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 21/2001 tentang Otsus. “Status UU Otsus untuk Papua cukup mendapat respon positif dari sebagian besar masyarakat Papua ketimbang pemekaran yang dinilai akan merusak jati diri dan identitas orang Papua.”[12]
Tuntutan pemekaran propinsi Papua kembali muncul di Jakarta, ketika pada tanggal 19 September 2002, sekitar 250 masyarakat didatangkan dari Papua. Kedatangan mereka ini difasilitasi oleh panitia Reaktivisasi Propinsi Irian Jaya Barat yang dibentuk oleh lembaga “Irian Jaya Crisis Center” pimpinan Demianus Idjie. Aspirasi ini rupanya ditanggapi positif oleh pemerintah Indonesia, sehingga pada tanggal 27 Januari 2002, keluarlah Instruksi Presiden (Inpres No. 1/2003) Megawati Soekarnoputri yang memerintahkan supaya pemekaran Provinsi di Papua dipercepat, diawali dengan pendirian provinsi baru Irian Jaya Barat yang berpusat di Manokwari.[13]
Pada tanggal 6 Februari 2002, Provinsi Irian Jaya Barat resmi berjalan yang ditandai dengan pembukaan selubung papan nama Kantor Gubernur Irian Jaya Barat oleh Pejabat Gubernur Abraham O. Atururi.[14] Begitu pula yang terjadi pada tanggal 23 Agustus 2002, dilangsungkan pendeklarasian Provinsi Irja Tengah oleh segelintir anggota Muspida Mimika dan beberapa anggota DPRD Kabupaten Mimika. Pendeklarasian ini memicu bentrokan antar warga yang pro dan kontra pemekaran hingga menelan kerugian materiil dan juga korban jiwa.[15]

2. Menggugat UU Pemekaran Berdasar Kajian Hukum Indonesia[16]

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) [Pasal 1 ayat 1 UUD 1945] adalah Negara Hukum bukan Negara Kekuasaan [Bdk. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945][17]. Instrumen hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan Negara tersebut dalam sistem hukum Indonesia, diatur dalam Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Pada pasal 2 Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 dinyatakan secara jelas bahwa: tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
1) Undang-Undang Dasar 1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3) Undang-undang;
4) Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu);
5) Peraturan Pemerintah;
6) Keputusan Presiden;
7) Peraturan Daerah.
Sesuai dengan tata urutan yang disebutkan dalam Ketetapan MPR RI tersebut, maka keberlakuan setiap bentuk dari peraturan perundang-undangan di Indonesia, ditentukan oleh asas perundang-undangan. Terdapat 4 (empat) asas penting agar peraturan perundang-undangan dapat mewujudkan tujuan tatanan hukum, terutama tujuan adanya kepastian hukum. Keempat asas perundang-undangan tersebut, yaitu:
1) Lex superiori derogat lex inferiori (aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah)
2) Lex posteriori derogat lex priori (aturan yang kemudian mengesampingkan aturan yang terdahulu)
3) Lex specialis derogat lex generali (aturan khusus mengesampingkan aturan umum)
4) Non-retroaktif (aturan tidak berlaku surut).
Bila menilik UU Otsus, khususnya ketentuan pasal 76 dengan UU No. 45/1999 pemekaran Provinsi Irian Jaya, maka terdapatlah kesamaan “materi muatan” atau makna isinya, yakni “syarat dan tatacara pemekaran provinsi”. Mengingat kedua produk hukum tersebut mempunyai kedudukan hukum yang sederajat, yaitu Undang-Undang, maka asas perundang-undangan yang digunakan untuk melakukan pengkajian keabsahan berlakuanya adalah asas lex posteriori derogat lex priori (aturan yang kemudian mengesampingkan aturan yang terdahulu). Dengan begitu menjadi jelas bahwa yang sah berlaku adalah UU Otsus, karena dikeluarkan lebih kemudian, yaitu pada tahun 2001 dibandingkan dengan UU Pemekaran Provinsi Irian Jaya, yaitu tahun 1999.
Sehubungan dengan Inpres No. 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi, maka bila merujuk pada Ketetapan MPR RI No. III/MPR 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, tentulah Inpres RI dan Radiogram Menteri[18] tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan RI. Dengan demikian kedudukannya di bawah peraturan perundang-undangan RI. Karena itu secara otomatis, Inpres No. 1 Tahun 2003, pada dasarnya sudah tidak memiliki keberlakuan hukum meskipun belum dicabut oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkannya.


II. Thomas Aquinas Sang Ahli Hukum

A. Pengertian Hukum Secara Umum

Thomas mendefinisikan hukum sebagai “perintah akal budi demi kebaikan umum dan dipromulgasikan oleh orang yang bertugas memimpin masyarakat”. Dengan demikian, hukum memiliki karakteristik seperti tersebut di bawah ini:
1) Rasional, karena hukum merupakan perintah akal budi. Artinya, seseorang menghendaki suatu tujuan tertentu, akal budinya memerintahkan tentang apa yang seharusnya dilakukannya untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2) Teleologis atau berorientasi pada suatu tujuan tertentu, yaitu demi kebaikan umum. Dalam definisi tersebut, hukum dibuat berdasarkan atas kepentingan masyarakat, yaitu disusun demi kebaikan umum.
3) Untuk kepentingan tersebut, maka pembuatan hukum menjadi wewenang masyarakat secara keseluruhan atau menjadi wewenang seseorang yang ditunjuk mewakili masyarakat.[19]


B. Hierarkis Hukum: Abadi-Kodrat-Positif[20]

1. Hukum Abadi

Secara hierarkis Thomas menentukan jenis-jenis hukum ke dalam strukttur hukum yang terdiri dari Hukum Abadi, Hukum Kodrat, dan Hukum buatan Manusia (Hukum Positif). Puncak dari hierarki hukum adalah “hukum abadi”: yaitu, “pengaturan rasional atas segala sesuatu di mana Tuhan menjadi penguasa alam semesta”. Thomas berpendapat bahwa hukum abadi merupakan sumber dari segala hukum yang berlaku. Hukum abadi adalah sumber langsung dari hukum kodrat serta merupakan sumber tidak langsung dari hukum manusiawi atau hukum positif. Meskpun demikian, Thomas mengingatkan bahwa hukum abadi hanya dapat diamati “cahaya”-nya melalui akibat-akibat yang timbul, bukan melalui wujudnya. Cahaya hukum abadi hanya dapat dimengerti melalui analogi atau kias. Sebagai contoh misalnya, meskipun kita tidak dapat melihat matahari secara langsung, namun kita masih dapat melihatnya melalui cahayanya di siang hari. Akal budi manusia memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi hukum abadi, yaitu sebagai asas yang menggerakkan manusia menuju tujuan akhirnya. Dalam pengertian inilah, hukum memiliki makna sebagai “hukum”.

2. Hukum Kodrat[21]

Di bawah hukum abadi adalah “hukum kodrat”. Yang menjadi sumber langsung tentang pengenalan dan pemahaman manusia atas hukum kodrat adalah “akal praktis”. Jika setiap perbuatan manusia pada dasarnya memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapainya, dan tujuan ini memuat hakikat kebaikan, maka kebaikan merupakan inti dari akal praktis dan dipahami pada saat manusia berbuat sesuatu. Makna dan hakikat kebaikan, yaitu sesuatu yang diinginkan manusia sesuai dengan kodrat rasionalnya, merupakan asas pertama bagi akal praktis. Dengan demikian, aturan pertama hukum kodrat yaitu, “Berbuatlah baik dan hindarilah kejahatan”, menjadi dasar dari semua aturan atau perintah hukum kodrat.
Dari sudut pandang ini, hukum kodrat merupakan pernyataan kecenderungan struktural atau kecenderungan kodrat yang melekat pada kodrat manusia. Menurut Thomas, ada tiga kecenderungan struktural di dalam kodrat manusia, dan ketiganya tersusun secara hierarkis.
1) Kecenderungan yang berlaku sama untuk semua makhluk hidup, yaitu kecenderungan kodrat untuk mempertahankan diri dan keberadaannya.
2) Kecenderungan yang hanya berlaku untuk makhluk hidup yang berjiwa, namun bukan makhluk rasional, yaitu kecenderungan kodrat untuk mempertahankan jenis atau spesiesnya.
3) Kecenderungan yang khas manusiawi dan menjadi tanda partisipasi manusia pada Hukum Abadi, yaitu kecenderungan kodrat untuk berperilaku berdasarkan putusan akal serta kecenderungan untuk merealisasikan kemampuan rasionalnya.
Ada dua cara untuk mengamati hukum kodrat, yaitu secara formal dan secara virtual. Secara formal, hukum kodrat terdiri atas putusan-putusan aktual akal praktis tentang apa yang harus dikerjakan dan tentang apa yang tidak boleh dikerjakan. Hukum kodrat sendiri pada dasarnya merupakan kumpulan dari putusan-putusan semacam itu. Sarana yang dipergunakan untuk membentuk putusan-putusan tersebut adalah akal budi. Hukum kodrat dipahami secara virtual, karena dalam hal ini hukum kodrat merupakan manifestasi akal praktis yang memuat kecenderungan kodrat untuk membuat putusan-putusan moral. Dalam hal ini, hukum kodrat ada di dalam diri setiap persona yang mengembangkan kemampuan akal budinya dan membentuk asas-asas moral.

3. Hukum Buatan Manusia atau Hukum Positif

Akal budi tidak dengan sendirinya menjadi ukuran untuk hal-hal yang bersifat khusus, melainkan hanya dalam arti umum. Asas-asas yang secara kodrati “disusun” di dalam akal budi, yaitu hukum kodrat, menunjukkan aturan atau ukuran tentang hal-hal yang harus dilakukan manusia. Hukum manusiawi bukan merupakan aturan atau ukuran yang dapat berlaku untuk semua hal, melainkan hanya menjadi aturan dan ukuran perbuatan (lahiriah) manusia.
Ada dua bentuk hukum positif, yaitu hukum positif “deklaratif” dan hukum positif “determinatif”. Hukum positif “deklaratif” menyatakan atau menyimpulkan hal-hal yang diatur di dalam hukum kodrat, seperti misalnya: larangan membunuh, mencuri dan sebagainya. Hukum ini berbeda dari hukum kodrat hanya dalam hal cara promulgasinya. Hukum positif determinatif menentukan atau membatasi cara-cara berbuat yang sesuai dengan ketentuan hukum kodrat, meskipun ketentuan tentang cara-cara berbuat tersebut tidak diturunkan dari hukum kodrat. Hukum-hukum positif determinatif tersebut misalnya: tata tertib lalu lintas, peraturan perpajakan, peraturan dan undang-undang tentang Pemilu, penentuan persyaratan kontrak, dan sebagainya.
Beberapa alasan yang mendasari kebutuhan hukum kodrat atas hukum positif sebagai pelengkapnya adalah bahwa:
1) Bagi sebagian orang, perintah akal budi itu mungkin tidak jelas;
2) Sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan kebaikan umum, hukum kodrat memberikan banyak kemungkinan pilihan sehingga dapat menimbulkan banyak interpretasi untuk pelaksanaannya; dan
3) Kehidupan sosial yang kompleks setiap saat mengalami perubahan. Dalam hal ini hukum positif dibutuhkan untuk menghindari kekacauan validitasnya.


III. “Pandangan” Thomas Aquinas Atas Inpres No. 1/2003 dan UU No. 45/1999 Tentang Pemekaran

A. Inpres No. 1/2003 dan UU Pemekaran Tidak Sesuai dengan Hukum Kodrat

Munculnya UU Otsus sebagai tangapan pemerintah atas tuntutan masyarakat Papua karena tidak mendapatkan dan merasakan kesejahteraan, merupakan respon positif yang patut dipuji. Pemerintah Indonesia, yang mempunyai mandat atau merupakan representasi seluruh rakyat Indonesia -termasuk Papua-, telah berupaya menjamin kesejahteraan rakyatnya yang ada di bumi Cenderawasih dengan menetapkan UU Otsus bagi Provinsi Papua. Terbentuknya hukum positif yang disebut sebagai UU Otsus yang berisikan hal-hal yang mengatur masyarakat Papua dalam mencapai kesejahteraannya, kiranya sesuai dengan pengertian hukum ala Thomas Aquinas. Sesuai dengan hukum ala Thomas, karena UU Otsus ditetapkan oleh pihak yang berwenang, yakni Pemerintah Indonesia dan berdasarkan kajian akal budi manusia yang terarah pada kebaikan manusia (Papua). Dalam sudut pandang ini, Thomas tentu amatlah memuji UU Otsus Papua.
Kebaikan manusia (Papua) yang diupayakan melaui UU Otsus, pada dasarnya adalah demi mempertahankan diri dan identitas masyarakat Papua yang amat sering didengung-dengungkan hingga saat ini. Hal ini amatlah sejalan dengan hukum kodrat yang ditelurkan oleh Thomas. Karena itu UU Otsus, yang adalah hukum positif, pada dasarnya “sepikir” dengan hukum kodrat.
Namun sayangnya, substansi UU Otsus yang mulia itu, ternyata tidak dapat dterapkan sesuai dengan tujuannya. Ketiga fakta yang dikemukakan oleh DAP selama berlangsungnya Otsus, merupakan bukti nyata bahwa UU Otsus belumlah diimplementasikan dengan semestinya. Kepincangan ini pada dasarnya disebabkan oleh satu alasan mendasar, yakni Otsus dipandang sebagai batu loncatan menuju kemerdekaan. Beberapa pasal yang dinilai sebagai ancaman terhadap keutuhan NKRI itu diantaranya: Bab II pasal 2 tentang Lambang-Lambang Daerah, Bab V tentang bentuk dan susunan pemerintahan khususnya bagian keempat pasal 19 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Bab VII pasal 28 ayat 1, 2, 3 dan 4 tentang partai politik. Pasal-pasal krusial ini dianggap oleh pemerintah RI sebagai ancaman serius, dan karena itu tidalah heran Otsus sulit diimplementasikan.[22]
Demi menjaga keutuhan NKRI dan menghambat implementasi Otsus, dikeluarkan Inpres No. 1/2003, yang menginstruksikan dipercepatnya pelaksanaan UU No. 45/1999 tentang pemekaran Provinsi Papua. Berdasarkan hukum positif Indonesia, Inpres No. 1/2003 yang memaksakan pemberlakuan UU No. 45/1999, tidaklah mempunyai landasan hukum yang sah. Dengan begitu UU pemekaran dan Inpres tersebut, amat nyata tidak sesuai dengan kodratnya sebagai “hukum”, yakni kesejahteraan rakyat dan pengakuan dari masyarakat. Secara logis atau dengan menggunakan akal budi saja, Inpres dan UU Pemekaran sudah salah, apalagi bila dikaitkan dengan UU Positif yang berlaku di Indonesia. Kenyataan ini amatlah tidak sesuai dengan pikiran Thomas Aquinas.
Keluarnya Inpres yang memaksakan agar UU Pemekaran yang sudah tidak sah itu diberlakukan, pun pula memperlihatkan bahwa Pemerintah Indonesia –melalui pemimpinnya, yakni presiden- telah bertindak tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Dengan mengeluarkan Inpres, maka kodratnya sebagai manusia yang berupaya mempertahankan diri dan keberadaannya, telah dihancurkannya karena telah bertindak tidak logis dan juga merusak diri dan keberadaan manusia lainnya. Disinilah letak kritik Thomas Aquinas atas pelaku-pelaku dan hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Pelaku-pelaku dan hukum serta putusan-putusan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, pada dasarnya seringkali tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia.

B. Inpres No. 1/2003 dan UU Pemekaran Tidak Sesuai Dengan Etika Politik

Menilik kritik Thomas Aquinas atas realitas (implementasi) Otsus dengan dikeluarkannya Inpres No. 1/2003 yang tidak sesuai dengan kodrat manusia, maka terlihat secara jelas bahwa implementasi Otsus pada dasarnya pun pula tidak sesuai dengan etika politik[23]. Sumber etika politik tidak lain dari martabat luhur manusia. (Inilah yang menjadi sumbangan Thomas Aquinas yang hakiki pada etika politik, bahwa pendasaran segenap kekuasaan yang sah pada legitimasi etis, berdasarkan kodrat dan martabat manusia sebagai makhluk yang bebas.[24]) Artinya, urgensi etika politik dalam pelaksanaan Otsus terletak pada tuntutan agar pelaksanaan pemerintahan daerah benar-benar memperlihatkan penghargaan terhadap rakyat di daerah sebagai person yang bernilai pada dirinya. Parameter yang lazim dipakai untuk mengukur tingkat penghargaan terhadap rakyat sebagai person adalah kesejahteraan umum[25].
Bila melihat (implementasi) Otsus dengan dikeluarkannya Inpres No. 1/2003 yang meminta percepatan pemekaran wilayah sesuai dengan UU No. 45/1999 di Provinsi Papua yang sudah diberi otonomi secara khusus maka undang-undang atau peraturan tersebut sama sekali bukan untuk mensejahterahkan rakyat. Malahan sebaliknya undang-undang atau peraturan itu telah menghancurkan kehidupan rakyat (Papua), karena telah menimbulkan kerugian materiil dan juga korban jiwa[26]. Dengan begitu, Inpres No. 1/2003 tidaklah sesuai dengan kodratnya sebagai hukum karena tidak mendasarkan diri pada tujuan hakiki hukum, yakni keadilan, kesejahteraan dan penghargaan atas martabat manusia. Selain peraturan tersebut tidak sesuai dengan kodratnya, maka pihak yang mengeluarkan peraturan itu, pun pula telah melanggar kemanusiaannya karena tidak menggunakan akal budi yang sehat.
Kenyataan ini kiranya pula memperlihatkan bahwa peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia hanya bertujuan untuk melanggengkan “kekuasaan” yang ada. Cara Pemerintah Indonesia dalam melanggenggkan kekuasaannya ialah dengan gaya fragmentasi[27]. Keluarnya Inpres No. 1/2003 dan belum (atau tidak) diwujudnyatakan pasal-pasal dalam Otsus Papua adalah bukti nyata keinginan Pemerintah Indonesia memecah belah rakyat Papua demi menguasai Papua dalam wadah NKRI. Dengan begitu terlihat bahwa kekuasaan yang dimandatkan rakyat kepada Presiden (baca: Pemerintah Indonesia), digunakan bukan untuk keselamatan umat manusia, melainkan bertujuan “menghancurkan” umat manusia. Dan karena ini sungguh terjadi di wilayah Papua, maka peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia, tidak sesuai dengan hukum kodrat dan lebih khusus lagi etika politik seperti yang didengungkan oleh Thomas Aquinas.


IV. Kesimpulan

Terbitnya Otsus merupakan tindakan yang “menghidupkan” masyarakat yang ada di tanah Papua. Kendati begitu (implementasi) Otsus belum menghantar masyarakat Papua pada “keselamatan” karena sulit mempertahankan diri dan keberadaannya sebagai masyarakat Papua yang bermartabat. Ini tampak dari tidak diamalkannya beberapa pasal krusial dari UU Otsus, misalnya: Bab II pasal 2 tentang Lambang-Lambang Daerah, Bab V tentang bentuk dan susunan pemerintahan khususnya bagian keempat pasal 19 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Bab VII pasal 28 ayat 1, 2, 3 dan 4 tentang partai politik. Pasal-pasal yang dianggap oleh Pemerintah Indonesia menjadi cikal-bakal terpisahnya Papua dari NKRI, pada dasarnya merupakan ciri khas jati diri dan keberadaan masyarakat Papua.
Lebih parah lagi adalah keluarnya Inpres No. 1/2003 yang tidak memiliki landasan hukum karena dengan sendirinya tidak sah dengan adanya UU Otsus di Papua, memperlihatkan bahwa peraturan tersebut tidak sesuai dengan norma hukum kodrat dan etika politik seperti yang “dinyatakan” oleh Thomas Aquinas. Bahkan dengan diputuskannya Provinsi Irian Jaya Barat sebagai sebuah pemerintahan yang ada dan sudah berjalan meskipun tidak sah secara hukum, menjadi tanda nyata bahwa hukum di Indonesia begitu mudah untuk dipermainkan.[28] Hukum atau peraturan, seperti yang terjadi dengan Inpres No. 1/2003 dan UU Pemekaran, yang seharusnya menjadi sandaran dalam mengatur hidup bermasyarakat, diputar-balik hingga memecah belah masyarakat.
Ulasan mengenai hukum di Indonesia yang kerap diterbitkan tanpa landasan hukum dan bahkan bertentangan dengan hukum yang sudah dipromulgasikan seperti Inpres No. 1/2003 dan UU Pemekaran yang bertentangan dengan UU Otsus, hanyalah secuil contoh yang menunjukkan betapa buruknya hukum di Indonesia. Hukum di Indonesia acapkali tidak sesuai dengan norma hukum kodrat dan etika politik. Sebab itu tidaklah heran bila banyak pula keputusan-keputusan hukum pun tidak sesuai dengan prinsip hukum kodrat dan etika politik. Bebasnya koruptor besar seperti Ir. Akbar Tandjung yang sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Tinggi tetapi dibebaskan kembali pada tingkat kasasi, dikalahkannya pemenang Walikota Depok yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan beberapa waku lalu oleh Pengadilan Tinggi Negeri Depok dan Pengadilan Negeri Tinggi Depok menetapkan calon Walikota Depok yang diusung oleh Partai Golkar sebagai walikota yang resmi, bebasnya para pelanggar Hak Asasi Manusia Timor-Timur dan juga bebasnya pelanggar HAM kasus Abepura yakni John Usman dan Daud Sihombing, adalah kenyataan yang memperlihatkan betapa lemahnya hukum di Indonesia. Hukum di Indonesia, ditetapkan seolah-olah untuk dipermainkan dan bukan untuk ditaati. Dengan lain kata, hukum di Indonesia tidak mempunyai landasan hukum.
Merujuk pada kenyataan tersebut, tidaklah heran bila DAP mengembalikan UU Otsus ke Pemerintah Indonesia melalui DPRP dan menginginkan “bentuk hidup” yang lain. Masyarkat Papua, melalui DAP ternyata tidak menemukan “keselamatan” dalam UU Otsus!


Penutup

Thomas Aquinas menaruh perhatian besar pada hubungan antara hukum dengan moralitas (baca: etika politik). Didefenisikannya bahwa hukum sebagai aturan dan ukuran perbuatan yang mengarahkan atau melarang manusia berbuat. Jika mengarahkan perbuatan, maka aturan dan ukuran tersebut membimbing manusia mencapai kebaikan individualnya, yaitu pemenuhan kesempurnaan kodrat rasional. Meskipun demikian, menurut Thomas, “kebaikan: hanya dapat terwujud jika ada cinta manusia terhadap sesamanya, dan cinta ini hanya akan terwujud jika ada keadilan. Kondisi kehidupan manusia seperti ini akan terbentuk jika ada hukum yang akan menjadi sarana penyelenggaraan cinta kepada sesama. Di dalam konteks kehidupan sosial manusia, hanya cinta yang dapat menjamin kebebasan setiap individu sehingga manusia dapat mencapai kebahagaiaan atau kebaikan umum.
UU Otsus, pada awalnya merupakan hukum yang menjadi sarana penyelenggaraan cinta kepada manusia (Papua). Namun hukum (baca: UU Otsus) yang menjadi sandaran bagi manusia (Papua) untuk merasakan dan menyalurkan cinta tersebut (baca: keselamatan), sudah tidak dipercayai lagi. Ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap sarana penyelenggaraan cinta itu (baca; UU Otsus) disebabkan oleh kemauan Pemerintah Pusat yang tidak mengimplementasikan UU Otsus secara murni dan konsekuen, sehingga Otsus akhirnya dianggap sekedar “gula-gula” politik. Ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap hukum di Indonesia (Otsus Papua), semakin memilukan dengan irama tarik-ulur pembentukan MRP oleh Pemerintah Pusat hingga keluarnya Instruksi Presiden Megawati yang memberi angin terbentuknya Provinsi Irian Jaya Barat (IJB).[29]
Bila ketidakpercayaan masyarakat Papua atas hukum di Indonesia ini tidak dipulihkan dengan cara-cara yang bijaksana[30], maka sebagai makhluk yang berkodrat, manusia-manusia Papua akan berjuang demi mempertahankan kodratnya. Bila perjuangan dalam mempertahankan kodratnya ini senantiasa terus-menerus dilaksanakan, maka penulis yakin bahwa bukanlah hal yang mustahil bila suatu saat kelak, Papua dapat menemukan “keselamatan” –entah dengan cara damai entah pula dengan cara kekerasan-[31].
Kepustakaan:


Broek, Theo van den. Membangun Kapasitas Untuk Implementasi Otsus Papua (Sebuah makalah yang tidak dipublikasikan). Jayapura, Februari 2004.
Harian Cenderawasih Pos 2 Januari 2002.
Harian Cenderawasih Pos, 28 Januari 2002.
Harian Cenderawasih Pos, 7 Februari 2002.
Harian Cenderawasih Pos 13 Juli 2005.
Harian Cenderawasih Pos, 24 Agustus 2002.
Kambu M. Si, Drs. M. R. Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembentukan Provinsi Papua. Jayapura: Kotamadya Jayapura, Oktober 2003.
Lumban Gaol, Goklian. Pemikiran Karl Marx Mengenai Hukum dan Relevansinya Bagi Negara Indonesia Saat Ini (Skripsi S-I). Abepura: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur”, Mei 2002.
Mahkamah Konstitusi Jakarta. Putusan No. 018/PUU-I/2003 Tentang Peninjauan Pengujian UU NO 45 Tahun 1999; Pembentukan Irja Tengah, Irja Barat. Jakarta, Mahkamah Konstitusi, 2003.
Momao, Sefnat. Papua Dalam Bayang-Bayang Pemekaran VS Otsus: Rakyat Papua Hendak Dibawa Kemana?. Yogyakarta: Yayasan Tifa Papua Mandiri, 2004.
Ohoitimur, Yong MSC. “Pelaksanaan Otonomi Daerah: Berpeganglah pada Etika Politik”, di dalam: Anicetus B. Sinaga, OFM Cap., Etos & Moralitas Politik: Seni Pengabdian untuk Kesejahteraan Umum. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Jayapura: Sekretariat Daerah Provinsi Papua, 2001.
Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura (SKPKJ), Memoria Passionis di Papua 2001. Jayapura: SKPKJ dan Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2003.
--------. Memoria Passionis di Papua: Kondisi Sosial-Politik dan Hak Asasi Manusia 2002-2003. Jayapura: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura (SKPKJ) & Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 2004.
--------. Otsus di Ujung Tanduk. Jayapura: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, Juni 2005.
Sumaryono, E. Etika & Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994.
--------. 13 Model Pendekatan Etika. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
--------. Kuasa & Moral, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Papua, Tim Kajian Hukum ICS-LPMS. Keabsahan Berlakunya Inpres No. 1 Tahun 2003 Dalam Kontek Adanya “Pertentangan Norma Hukum” Antara Materi Muatan Undang-Undang No. 45 Tahun 1999 Denman Undang No. 21 Tahun 2001, Jayapura: Institute for Civil Strengthening (ICS)-Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil Papua. (Sebuah makalah yang tidak dipublikasikan.)
Windhu, I. Marsana. Kekuasaan & Kekerasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius, 1992, hal. 51.
[1]Undang-undang Otonomi Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001, diberlakukan secara resmi di Papua per 1 Januari 2002. Lih. Harian Cenderawasih Pos 2 Januari 2002, hal. 1.
[2]Lih. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura (SKPKJ), Memoria Passionis di Papua 2001, Jayapura: SKPKJ dan Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2003, hal. 163-164.
[3]Harian Cenderawasih Pos, 13 Juli 2005, hal. 1.
[4]E. Sumaryono, Etika & Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 5.
[5]Ibid., hal. 2.
[6]Bdk. Drs. M.R. Kambu, M. Si, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pemekaran Provinsi Papua, Jayapura: Kotamadya Jayapura, Oktober 2001, hal. 21.
[7]Lih. Presiden Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Jayapura: Sekretariat Daerah Provinsi Papua, 2001.
[8]Sefnat Momao, Papua Dalam Bayang-Bayang Pemekaran VS Otsus: Rakyat Papua Hendak Dibawa Kemana?, Yogyakarta: Yayasan Tifa Papua Mandiri, 2004, hal. 114-115.
[9]Ibid., hal. 42.
[10]Tentang pembentukan pemekaran provinsi, sudah diatur dengan jelas pada pasal 76 UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otsus. Lih. Presiden Republik Indonesia, Op. Cit., hal. 47.
[11]Mamao, Op. Cit., hal.1-5.
[12]Ibid., hal. 20.
[13]Harian Cenderawasih Pos, 28 Januari 2002, hal. 1.
[14]Harian Cenderawasih Pos, 7 Februari 2002, hal. 1-2.
[15]Harian Cenderawasih Pos, 24 Agustus 2002, hal. 1-2.
[16]Bagian ini sepenuhnya didasarkan pada tulisan dari Tim Kajian Hukum ICS-LPMS Papua, Keabsahan Berlakunya Inpres No. 1 Tahun 2003 Dalam Konteks Adanya “Pertentangan Norma Hukum” Antara Materi Muatan Undang-Undang No. 45 Tahun 1999 Dengan Undang No. 21 Tahun 2001, Jayapura: Institute for Civil Strengthening (ICS)-Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil Papua. Sebuah makalah yang tidak dipublikasikan.
[17]Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, UUD 1945, P-4, GBHN, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1988, hal. 1-2.
[18]Dalam perspektif Hukum atau Hukum Administrasi Negara, Inpres, Instruksi Menteri, Radiogram Menteri dan instrumen hukum sejenis merupakan instrumen hukum untuk menjalankan kebijakan yang dibuat oleh pejabat publik dan termasuk dalam klasifikasi kebijakan. Lih. Kajian Hukum ICS-LPMS Papua, Ibid., hal. 5.
[19]E. Sumaryono, Op. Cit., hal. 32-33.
[20]Bagian ini seluruhnya dikutip dari tulisan E. Sumaryono, Ibid., hal. 73-82.
[21]Lihat pula tulisan dari: Franz. Magnis-Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hal. 87-97.
[22]Mamao, Op. Cit., hal. 42-43.
[23]Berkenaan dengan etika politik, bisa dilihat pada tulisan Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994, hal. 8-22.
[24]Lih. Franz Magnis-Suseno, Kuasa & Moral, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal. 7.
[25]Bdk. Yong Ohoitimur, MSC, “Pelaksanaan Otonomi Daerah: Berpeganglah pada Etika Politik”, di dalam: Anicetus B. Sinaga, OFM Cap., Etos & Moralitas Politik: Seni Pengabdian untuk Kesejahteraan Umum, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 211-212.
[26]Lih. Theo van den Broek Ofm, dkk., Memoria Passionis di Papua: Kondisi Sosial-Politik dan Hak Asasi Manusia 2002-2003, Jayapura: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura (SKPKJ) & Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 2004, hal. 49-80.
[27]Fragmentasi adalah suatu cara yang digunakan oleh satu kelompok bangsa untuk menguasai kelompok lain dengan cara memecah belah. Lih. I. Marsana Windhu, Kekuasaan & Kekerasan Menurut Johan Galtung, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hal. 51.
[28]Lihat hasil keputusan Mahkamah Konstitusi Jakarta, yang memenangkan gugatan DPRP Papua atas nama Drs. Jhon Ibo, namun mengijinkan Pemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat tetap berjalan meski dinyatakan secara tegas bahwa pemerintahan itu tidak sah secara hukum. Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara No. 018/PUU-I/2003, Tentang Peninjauan Pengujian UU NO. 45 Tahun 1999. Pembentukan Irja Tengah, Irja Barat, Jakarta: 2003.
[29]Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, (SKPKJ), Otsus di Ujung Tanduk, Jayapura: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, Juni 2005, hal. 26-27.
[30]Mengenai strategi dan rencana aksi untuk implementasi Otsus yang bijaksana, dapat dilihat tulisan dari: Theo van den Broek, Membangun Kapasitas Untuk Implementasi Otsus Papua (Sebuah makalah yang tidak dipublikasikan), Jayapura, Februari 2004.
[31]Kiranya mimpi ini pulalah yang pernah dipikirkan oleh Karl Marx. Lih. Goklian Lumban Gaol, Pemikiran Karl Marx Mengenai Hukum dan Relevansinya Bagi Negara Indonesia Saat Ini (Skripsi S-I), Abepura: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur”, Mei 2002, hal. 55-58.

Mengurai Prinsip Inkulturasi Berdasar Yohanes 1:1-18





Pembuka

Kultur-culture-cultuur berasal dari kata Latin “cultura” yang kata kerjanya “colore” berarti mengolah tanah. Dalam hubungannya dengan kebudayaan, kultur adalah semua hasil karya manusia dari cara mengolah sawah sampai cara berpikir. Atau apa saja yang dihasilkan oleh manusia. Inkarnasi berhubungan dengan kultur masyarakat. Dalam inkarnasi Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Artinya, Ia mewarisi dan menghayati kultur Yahudi dengan ciri-cirinya yang khas, dengan kekurangan dan kelebihannya. Seperti Sabda Allah menjadi manusia Yahudi, demikian juga wahyu Allah menjelma dalam kultur bangsa Yahudi, dengan segala konsekuensinya. Yang diwartakan bukan kultur bangsa Yahudi melainkan Kerajaan Allah. Sebaliknya kultur bangsa Yahudi sudah disiapkan untuk pertama kali menjasmanikan pewartaan kerajaan Allah[1]. Hal ini disebut pula dengan dasar teologis pempribumian (baca: inkulturasi), yakni misteri kasih Allah Tritunggal di mana Sang Putra menjadi manusia (inkarnasi) serta menerima konsekuensi terakhirnya sebagai manusia: wafat namun dibangkitkan Bapa dalam Roh Kudus; yang hadir dan berkarya menghidupkan umat Allah.
Tulisan ini menelusuri dasar teologis tersebut. Bagian pertama tulisan ini secara sekilas pandang mengulas teks Yoh 1:1-18, yang adalah dasar teologis inkulturasi. Kemudian bagian kedua menguak tabis dari Yoh. 1:1-18. Selanjutnya ditariklah kesimpulah praktis dalam hubungannya dengan inkulturasi.


I. Selayang Pandang teks Yohanes 1:1-18

Pada mulanya semua anggota gereja Kristen mula-mula adalah orang-orang Yahudi. Secara manusiawi Yesus adalah seorang Yahudi. Kekristenan sendiri mulai muncul pertama-tama di tengah-tengah orang Yahudi. Dan karena itu kekristenan tidak bisa berbicara lain kecuali dengan bahasa Yahudi dan memakai kaidah-kaidah pikiran Yahudi. Kendati begitu kekristenan segera tersebar dan masuk ke dalam dunia yang lebih luas khususnya Yunani (dan selanjutnya tersebar ke seluruh penjuru dunia). Ide-ide Yahudi merupakan hal yang sama sekali asing bagi orang-orang Yunani. Karena itu muncul persoalan, bagaimanakah kekristenan itu harus diterangkan dan diberitakan kepada dunia Yunani? Berangkat dari persoalan tersebut, sekitar tahun 100 Masehi di Efesus, seorang bernama Yohanes tertarik akan masalah itu dan menemukan jalan keluarnya. Baik di dalam alam pikiran Yunani maupun alam pikiran Yahudi terdapat konsep tentang firman. Konsep ini merupakan pusaka dan warisan atau suatu hal yang dapat dijabarkan lebih lanjut untuk menghadapi dua dunia itu, Yunani dan Yahudi[2]. Itulah yang terungkap dalam Yohanes 1:1-18.
Perikop Yoh 1:1-18 merupakan prolog yang merangkum seluruh uraian Injil Yohanes yang terdiri dari dua puluh bab. Secara visual, prolog Yohanes berbentuk demikian[3]:
1. Firman dengan Allah (1-2). 1. Anak di sisi Allah Bapa (18).
2. Peranan dalam ciptaan (3). 2. Peranan dalam ciptaan kembali (17).
3. Anugerah kepada manusia (4-5) 3. Anugerah kepada manusia (16).
4. Kesaksian Yohanes (6-8). 4. Kesaksian Yohanes (15).
5. Firman masuk ke dalam dunia (9-11). 5. Inkarnasi (14)
6. Melalui Firman kita menjadi anak-anak Allah (12-13).
Isi kedelapan belas ayat ini berbicara mengenai pewahyuan Allah, bagaimana Ia menjelaskan diri-Nya kepada kita. Dalam prolog, pewahyuan diri Allah tersebut digambarkan secara terperinci. Allah menyatakan diri melalui penciptaan (2-5), juga melalui kata-kata dalam Perjanjian Lama (10-13), melalui perjanjian-Nya, tulisan-tulisan Musa, para nabi dan sastra kebijaksanaan. Mereka yang membuka mata dan percaya kepada pewahyuan lama ini menjadi-anak Allah (12-13). Akhirnya Allah mewahyukan diri paling utama melalui inkarnasi, Firman menjadi manusia dan tinggal di antara manusia.
Pola inkarnasi ini bercorak universal dan juga partikular. Firman menjelma dalam konteks agama dan kebudayaan Yahudi dan Helenis. Ia yang universal mendapat bentuk dan karakteristik khasnya menurut cara pandang konteks setempat. Karakteristik[4] Firman yang universal dalam perikop tersebut diantaranya: terang, hidup, kemuliaan dan anak tunggal. Sedangkan karakteristik partikular dalam konteks agama dan kebudayaan Yahudi adalah Mesias, Anak Allah, Anak Domba Allah, Raja Israel, dan Anak Manusia[5].


II. Menguak Tabir Yoh 1:1-18 dan Relevansinya Terhadap Inkulturasi

Dalam perikop tersebut terlihat bahwa Allah mengutus Anak-Nya menjadi daging-tulang manusia demi keselamatan manusia, Dia telah mau melibatkan diri-Nya secara penuh dalam pergumulan manusia. Dengan tindakan menjadi manusia, Allah masuk ke dalam konteks manusia melalui wujud manusia tertentu. Dia sebagai orang Yahudi, yang hidup pada zaman penjajah Palestina oleh Roma. Dia sebagai tukang kayu dari Galilea, yang berbahasa Aram, logat Galilea. Dia terikat oleh kebudayaan orang Yahudi dan di bawah pembatasan waktu dan tempat. Yang Transenden menjadi Manusia dalam segala aspeknya. Dia mengalami pergumulan yang sama dengan manusia sampai meninggal dunia.
Perjanjian Baru (secara khusus Yohanes 1:1-18) memberikan kepada kita pola tentang adaptasi kultural. Inkarnasi Tuhan Allah ke dalam Anak-Nya Yesus Kristus adalah inkulturasi penuh. Anak Allah berkenan memasang tanda-Nya diantara manusia untuk memungkinkan kita diselamatkan. Yahwe yang maha tinggi, yang tak dapat dilihat atau didekati oleh siapapun telah menjelma untuk dapat dilihat dan didekati melalui proses inkarnasi.[6] Allah masuk ke dalam konteks manusia secara total. Manusia mengenal Allah justru melalui inkarnasi-Nya itu. Di dalam Yesus Kristus kita dapat melihat siapa Allah sebenarnya. Allah mengikat diri pada kebudayaan dan masa tertentu, dan dalam wujud ini Ia mengungkapkan watak-Nya. Tampaklah bahwa di dalam pengantar Injil Yohanes ini ditampilkan pola inkarnasi (inkulturasi) universal Yesus Krsitus dan inkarnasinya dalam konteks partikular tertentu.
Jika inkarnasi diterima sebagai kepercayaan yang fundamental dalam agama Kristen, hal ini berarti bahwa tubuh Kristus –yaitu Gereja- harus berinkarnasi ke dalam kebudayaan setempat/tertentu[7]. Supaya iman Kristen berakar dengan betul dalam kebudayaan setempat, dan “mengambil rupa” kebudayaan, diperlukan pengenalan akan kebudayaan dengan baik sekali. Caranya, kita harus mengenalnya “dari dalam”. Baru kalau begitu kita dapat melihat dengan tajam, mana kesempatan untuk iman Kristen masuk ke dalam kebudayaan. Baru jika kita kenal kebudayaan dari dalam, kita dapat menentukan bentuk apa yang cocok untuk dipakai, dan mana bahayanya. Di lain pihak untuk menjaga agar watak dari iman Krsiten tidak disangkal dalam proses kontekstualisasi, diperlukan orang yang atas dasar tafsiran Alkitab, terus-menerus dapat mempertimbangkan usaha kontekstualisasi secara kritis. Untuk itu diperlukan orang yang dapat menafsir Alkitab dengan baik, secara metodis dan sistematis, tanpa ada kejanggalan.
Dalam usaha inkulturasi teologi, ada dua tahap yang harus dijalankan, yakni: (1) yang menjadi titik tolak dari seluruh kegiatan adalah kebutuhan dan pergumulan jemaat dalam konteksnya. Dengan lain kata, pandangan mereka sendirilah yang menjadi patokan sampai mereka sendiri merasa bebas untuk mengungkapkan dirinya. (2) kemudian para ahli teologi diberi kesempatan untuk menyampaikan kritiknya, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, memberikan bahan refleksi kepada jemaat supaya mereka sendiri menilai usaha mereka dalam berkontekstualisasi.
Cara yang paling tepat dalam mengkomunikasikan pemahaman agamawi yang “paling dekat” jemaat adalah “bahasa”, ceritera, lambang, perumpamaan, metafora, alegori, lagu dan ritual. Karena itu yang ingin berteologi secara inkulturasi lebih baik mempelajari “bahasa” seperti yang dimaksud.
Inkulturasi mau menyoroti partikularitas, tetapi partikularitas ini tidak pernah dilihat lepas dari universalitas. Tujuan inkulturasi bukanlah supaya persaudaraan universal diantara umat Kristen menjadi pecah terpisah-pisah, melainkan supaya ada konvergensi: satu sama lain saling menghargai kepribadian masing-masing dan satu sama lain saling belejar dari kekayaan masing-masing dan satu sama lain tidak memaksakan unsur-unsur kebudayaan sendiri sebagai “kebenaran Injil” yang harus diterima kalau mau selamat.[8] Dengan kata lain inkulturasi ialah bahwa satu sama lain belajar dari kekayaan masing-masing.


III. Kesimpulan

Inkulturasi mencakup seluruh sendi kehidupan umat manusia. Ini merujuk pada arti kata inkulturasi sendiri, yakni suatu pemurnian yang terus menerus atau penyempurnaan atau berkaitan dengan inkarnasi (kelahiran kembali). Adapun prinsip inkulturasi adalah misteri kasih Allah Tritunggal dalam rangka sejarah dunia dan isinya, di mana Sang Putra menjadi manusia (inkarnasi) serta menerima konsekuensi terakhirnya sebagai manusia: wafat namun dibangkitkan Bapa dalam Roh Kudus; yang hadir dan berkarya menghidupkan umat Allah. Sebagaimana Sabda yang menjelma tidak menghapus satu titik pun pada hukum Taurat, demikian pula Gereja dalam karya misionernya harus menghargai adat istiadat dan kebudayaan dalam masyarakat setempat karena warisan bangsa tersebut telah membuktikan diri menjadi sarana pelestarian hidup dan keberadaan seluruh ciptaan. Gereja, di dalam karya misionernya, harus mencari dan menemukan nilai-nilai ilahi yang ada di dalam suatu agama, kebudayaan dan bangsa tertentu sejauh unsur-unsur tersebut mempunyai akar-akarnya pada kehendak Allah untuk menyelamatkan umat manusia.
Kontekstualisasi ataupun inkulturasi menunjukkan pembaruan kebudayaan yang kristen, dialog kebudayaan dengan Injil dan dengan pribadi Yesus yang mentransformasi. Maka, inkulturasi dapat disebut juga suatu jalan kehidupan, sebab dialog dan transformasi harus dialami dan dihayati oleh orang-orang dalam komunitas basis yang berada di tengah keramaian hidup sosial dan budaya. Warta dan pesan kristiani mesti berakar dalam kebudayaan-kebudayaan dan untuk itu penyampaian pesan tersebut mesti sanggup tidak hanya memberi kepada melainkan juga menerima dari kebudayaan-kebudayaan yang mendengarkan Injil. Inkulturasi merupakan dialog terus-menerus antara Sabda Allah dengan manusia dalam banyak segi dan cara kehidupannya.[9]


Penutup

Pada dasarnya inkulturasi itu mudah, asalkan semua pihak mempunyai komitmen, integritas dan mau terbuka dengan menerima pihak yang satu dengan yang lainnya apa adanya. Sarana yang dijadikan sebagai bahan appersepsi sudah tersedia dalam masyarakat, tinggal bagaimana caranya mengelolanya dan menerapkan ajaran Kristiani ke dalamnya atau membudayakan Gereja di tengah situasi seperti itu. Selain itu upaya inkulturasi seharusnya berlandaskan pada apa yang ada dalam masyarakat tertentu serta kebutuhan-kebutuhan mereka. Dengan begitu inkulturasi pada dasarnya berhubungan dengan kondiri riil masyarakat setempat. Inkulturasi harus berasal dari masyarakat setempat, dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan bertujuan untuk masyarakat setempat. Inilah kerangka dasar dalam mengembangkan inkulturasi di mana saja. Bila hal ini sungguh dihayati, maka upaya inkulturasi akan berjalan secara maksimal.
Oleh karena Gereja menjadi penerus karya penyelamatan Allah di dunia, maka inkulturasi pun berkait erat dengan misi Gereja. Sebagaimana Sabda yang menjelma tidak menghapus satu titik pun pada hukum Taurat, demikian pula Gereja dalam karya misionernya dituntut menghargai adat-istiadat dan kebudayaan dalam masyarakat setempat karena nilai-nilai ilahi terkandung di dalamnya. Dengan begitu Gereja sepantasnya dijelmakan dalam kehidupan orang-orang setempat, dipimpin orang-orang setempat, menggali kebutuhan dan menjawabnya sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat lokal, serta menemukan dalam dirinya sendiri sumber daya cipta yang dibutuhkan demi hidup dan perutusannya.

[1]Th. Koendjono, “Suatu pemikiran tentang inkulturasi”, di dalam: Komolit MAWI, Bina Liturgia I: Inkulturasi, Jakarta: Obor, 1985, hal. 9.
[2]Berkenaan dengan FIRMAN, diuraikan oleh Willian Barclay, di dalam bukunya berjudul: Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Injil Yohanes Fs. 1, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1983, hal. 44-62.
[3]Diannes Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Ed.), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 163-164.s
[4]Karakteristik-karakteristik ini diuraikan secara mendetail oleh Willian Barclay, Op. Cit., hal. 62-131.
[5]Agus A. Alua, Injil Yohanes (Diktat Kuliah Pasca Sarjana), Abepura: STFT “Fajar Timur”, 2004/2005, hal. 6.
[6]Joe Caquare, “Pempribumian Sebagai Inkarnasi Konsep Tentang Kristus Dari Melanesia”, di dalam: Feije Duim dan David Sulistyo (Ed.), Dengan Segenap Hatimu, Irian Jaya: Biro Pengabdian dan Penelitian STT-GKI “I.S. Kijne” dengan Departemen Penelitian dan Pengembangan Sinode GKI, 1988, hal.118.
[7]Lih. Feije Duim, “Mengertikah Tuan Apa yang Tuan Baca Itu?”, di dalam: Feije Duim dan David Sulistyo, Ibid., hal. 82.
[8]E. G. Singgih, “Kontekstualisasi Sebagai Usaha Menghayati Kebenaran Injil”, di dalam: Feije Duim dan David Sulistyo, Ibid., hal.106-107.
[9]J.B. Banawiratma SJ, “Menjernihkan Inkulturasi”, di dalam: Komlit MAWI, Op. Cit., hal. 19.